Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ziarah ke Makam Marsinah, Pejuang Hak Asasi Manusia dari Nganjuk

 

Berikut catatan perjalanan ketika berkunjung ke makam pejuang hak asasi manusia (HAM) dari Nganjuk yang bernama Marsinah. Perjalanan mengendarai motor dimulai dari tanggal 7 Mei 2022 pada malam hari hingga 8 Mei pada waktu pagi.


Mei merupakan bulan buruh. Pada 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia. Perjalanan dimulai dari kabupaten yang memperoleh cap sebagai “Kota Ramah HAM” atau “Human Rights Cities” di Indonesia, yaitu Kabupaten Bojonegoro yang berada di Provinsi Jawa Timur.

Apakah benar, Bojonegoro sudah layak dikatakan sebagai “Kota Ramah HAM”? Mengapa Bojonegoro bisa memperoleh cap “Kota Ramah HAM”? Apakah itu hanya sebatas perayaan belaka, menuju 10 Desember? Setelah itu, tidak ada lagi kerja-kerja yang berorientasi untuk membela HAM? Jangan-jangan, kerja-kerja yang dilakukan "memang benar" sudah tidak berorientasi pada HAM, melainkan berorientasi pada urusan perut saja seperti hamburger.

Bagimana menurut kawan-kawan pembaca? Khususnya warga negara atau penduduk yang ada di Bojonegoro? Sudahkah memadahi pelayanan publiknya? Sudahkah nglenyer jalannya? Atau masih ditemukan jalan karya rezim dahulu yang identik dengan “paving” yang bergelombang? Atau di daerah plosok Bojonegoro? Hak-hak warga negara sudah terpenuhi? Jalannya sudah dibuat nglenyer bin nggayer atau masih berpotensi jadi sirkuit trabas (red. Sunda) dan off road? Sila, kawan-kawan berpikir.

Di Sekitar Pos Polisi Krempyeng Desa Sukorejo Kecamatan Bojonegoro
(Sumber: dokumen pribadi)

Masuknya kapital (modal) di Bojonegoro, tidak bisa lepas dari peristiwa land grabbing atau pencaplokan lahan. Lagi dan lagi ihwal pengelolaan sumber daya alam. Benar, bahwasanya Bojonegoro merupakan penghasil minyak bumi, namun apakah minyak bumi dan kekayaan alam yang terkandung di bumi Bojonegoro benar-benar diperuntukkan rakyat Bojonegoro sesuai dengan amanat konstitusi?

Selamat menggaruk-garuk kepala. Pada bagian artikel ini, saya tidak akan bercerita lebih jauh tentang dilema Bojonegoro sebagai Kota Ramah HAM. Melainkan saya akan bercerita tentang perjalanan ziarah ke makam pejuang HAM ‘Marsinah’ yang berada di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.  

Bagi kawan-kawan yang bergerak dalam bidang hukum, hak asasi manusia, menjadi pembela HAM atau human rights defender, nama Marsinah tak asing di telinga.

Karya-karya tentang Marsinah bertebaran di dunia maya maupun nyata. Seperti Dongeng Marsinah karya Sapardi Djoko Damono, kawan-kawan dari kelompok musik Marjinal juga membuat lagu tentang Marsinah, dan ada juga sebuah film yang berkisah tentang Marsinah.

Sudah sejak lama, ketika berkunjung di suatu tempat, saya ingin berziarah ke makam-makam tertentu. Ziarah ke makam Marsinah saya lakukan pada Syawal 1443 H. Beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri di tahun 2022.

Patung Marsinah di Nganjuk
(Sumber: dokumen pribadi)

Ketertarikan saya belajar hukum dan hak asasi manusia (baik yang sipil dan politik maupun ekosob atau ekonomi, sosial, dan budaya), serasa dekat dengan Marsinah. Saya angkat topi, keberanian Marsinah dalam menggerakkan kawan-kawannya di sebuah pabrik alroji yang ada di Sidoarjo.

Kisah-kisah tentang Marsinah yang kasusnya diadvokasi oleh Munir Said Thalib dan kawan-kawan, banyak ibrah atau pelajaran yang saya petik. Salah satunya ihwal keberanian dan istiqomah membersamai perjuangan buruh.

Sejauh ini, saya belum bisa seprogresif Marsinah. Ketika dalam perjalanan mengendarai motor, saya hanya melihat-lihat pabrik dari luarnya saja, buruh perempuan yang banyak, dan hal-hal lain. Pengalaman tentang perburuhan di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, saya banyak belajar dari seorang mantan buruh rokok yang sekarang beralih pekerjaan di bidang digital, jogo konter.

Saya mendokumentasikan pengalamannya selama ia menjadi pekerja. Kawan saya bercerita tentang bagaimana bengisnya perusahaan ketika mendengar kata “serikat buruh” yang benar-benar serikat. Bukan serikat yang tumbuh dan berkembang membersamai bersemainya pohon beringin alias serikat buatan pemerintah pada waktu Orde Baru.

Setidaknya, untuk saya sendiri maupun kawan-kawan yang suka belajar, berkawan, dan berjuang bersama buruh, jangan lupa untuk praktek. Karena kawan-kawan akan menemukan beberapa perbedaan teori dalam buku-buku dengan praktek di lapangan.

Banyak cara untuk belajar ihwal perburuhan, hukum, dan hak asasi manusia. Salah satunya melalui kisah pejuang perempuan peraih penghargaan Yap Thian Hiem yang lahir di Nganjuk pada 10 April 1969, siapa lagi kalau bukan Marsinah. 

Menunggu Panasnya Mesin Motor

Motor yang saya tunggangi adalah Honda Win 100 keluaran tahun 2002. Beberapa tampilan yang diubah, seperti stripe (ala Honda Win 1980-an), spakbor diganti model semi trail, dan sedikit meninggikan skok di bagian depan.

Pada hari itu, saya tidak langsung ke Nganjuk. Melainkan berkeliling dulu di area kota Bojonegoro sembari memanasi mesin motor. Saya belokkan kuda besi ke rumah beberapa kawan, sembari silaturahim, karena masih momentum Idul Fitri.

Ngopi Malam di Area Kota Bojonegoro pada 07 Mei 2022 bersama Lukman dan Azis 
(Foto: karya Azis)

Saya di rumah Ardiansyah yang ada di Kalianyar, kemudian lanjut ngopi di dekat Terminal Lama bersama pemilik borjuasi klenik “Lukman” dan juga Azis, dan lanjut ke kawan saya yang sudah menunggu sembari tertidur pulas di sebuah beranda toko di Jalan Teuku Umar, dekat dengan Masjid Aula Taqwa, dia adalah seorang pembelajar, pekerja keras, dan suka literasi, namanya Eko, nama bekennya Eko ‘Kopral’ Prasetyo.

Mumpung lagi di kabupaten dengan awalan plat kendaraan “S”, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro, saya harus mengupayakan untuk ziarah ke makam Marsinah.

Sebagai pegiat Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah atau lingkar orang-orang yang memaknai insomnia dengan bahagia yang suka diksusi, kopi, dan literasi, tengah malam bagi saya merupakan suatu hal yang biasa. Seni untuk mengelola pikiran, diperlukan bagi anak-anak tengah malam (meminjam istilah Salman Rushdie).

Ketika melihat putih-putih di pinggir jalan, langsung berpikir aneh-aneh, hal itu  harus dikelola (kalau bisa), selain itu ya tidak mempercayainya, kalau ingin merasa lebih nyaman dan aman.

Sebelum berangkat ke Nganjuk menjelang tengah malam, rasa ragu menyelimuti. Tidak ada cara lain selain melawannya. Saya menemui Eko terlebih dahulu. Saya dan Eko berkeliling kota. Melihat bangunan-bangunan tua yang berdiri di area kota Bojonegoro. Sekitaran Jalan Rajawali yang merupakan daerah pecinan, kantor pegadaian yang ada di Jalan Raden Ajeng Kartini, dan beberapa tempat yang lain.

Suasana Jalan Teuku Umar pada Dini Hari
(Sumber: dokumen pribadi)

Setelah berkeliling, saya dan Eko menuju Pasar Kota Bojonegoro. Riuh dan ramai pasar kota, menambah hidup suasana. Bau ikan asin, daging, tahu, dan aneka barang menyeruak ke hidung.

Kami menikmati nasi pecel dengan lauk tempe, Eko pesan teh hangat untuk diminum setelah makan, dan saya pesan kopi. Tidak lupa untuk minum air mineral terlebih dahulu, mben gak seret proses pencernaane.

Perbincangan tentang karya sastra dari begawan ilmu sosial profetik ‘Kuntowijoyo’ menjadi bunga perbincangan di sela-sela menyantap hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja. Karena ada karya Kuntowijoyo yang berkisah tentang pasar, judulnya juga Pasar. Dan kami juga sedang menikmati nuansa Pasar Kota Bojonegoro. Selain itu, juga teringat kalimat dari cendekiawan Muhammadiyah yang berproses di Universitas Gadjah Mada 'Kuntowijoyo', tentang penulis dan anjuran untuk “menulis, menulis, dan menulis.”

Suasana Dini Hari di Kota Bojonegoro
(Sumber: dokumen pribadi)


Setelah itu, saya mengantarkan Eko ke sebuah toko yang berada di Jalan Teuku Umar. Dan perjalanan ziarah ke makam pejuang hak asasi manusia ‘Marsinah’ di Nganjuk, Jawa Timur, dimulai.

Menerobos Gelapnya Area Hutan Bojonegoro

Perjalanan dini hari pada waktu itu, mengandalkan peta google dan ingatan. Perjalanan dini hari mengendarai motor, beberapa kali pernah saya lakukan. Seperti, perjalanan ke Malang mengendarai Honda Beat lewat kawasan hutan atau alas di Lamongan, saking bagusnya jalan perbatasan Bojonegoro-Lamongan, membuat lampu tidak bagus dalam hal pencahayaan.

Selain itu, pernah juga ke Makam Gus Miek yang berada di Kediri. Nah, ingatan perjalanan menuju makam Gus Miek inilah yang saya gunakan sebagai ingatan ketika akan menuju makam Marsinah.

Dinginya dini hari mampu dikurangi dengan pakaian lengan panjang yang saya gunakan. Dan membawa tas punggung berwarna hitam. Ditambah rasa getar pada motor Honda Win 100 bisa mengurangi rasa takut.

Motor melaju menuju arah Temayang. Setelah bumi Mbedander atau Dander saya lalui, sekarang masuk di area Temayang. Silih berganti, suasana yang ramai kemudian sepi. Sepanjang perjalanan di area Temayang, alhamdulillah tidak menemui kendala yang berarti.

Sesekali motor, truk, dan orang, melintas di jalanan Temayang. Hutan jati, embun, dan kabut tipis menjadi saksi bisu perjalanan tengah malam pada waktu itu.

Potret Langit di Malam Hari
(Sumber: dokumen pribadi)

Ketika perjalanan tengah malam. Saya selalu terbayang karya sastra  penyair Jerman ‘Johan Wolfgang von Goethe’ yang bertajuk Der Erlkonig. Kisah penunggang kuda menerobos pekatnya malam. Kalau di Der Erlkonig kudanya kuda imajinasi dari kingdom animalia (hewan). Kalau kuda yang saya tunggangi, bukan kuda dari kingdom animalia, melainkan kuda besi.

Saya mengendarai motor dengan santai. Sesekali bermain dengan kecepatan maksimum. Kecapatan maksimum pada Honda Win yang saya tunggangi, tidak secepat motor-motor keluaran terkini.

Rasa getar alias ngeder itulah, yang menjadi pengalaman mengesankan ketika mengendarai kendaraan yang dulu pernah digunakan pemerintah RI buat pegawai dinas pertanian, perhubungan, kantor pos, dan lain-lain. Selain bodinya kotak bak belalang tempur, irit, dan bandel, itulah alasan umum yang sering diutarakan pengguna Honda Win 100.

Dini hari. Kumandang suara tarhim menggema di cakrawala. Dari sebuah masjid yang ada di perbatasan Temayang dan Gondang. Saya berhenti sejenak, menarik napas kemudian menghembuskan napas, dan melihat gawai sebentar. Dari situ, rasa ragu muncul kembali. Apakah saya harus meneruskan perjalanan ini dengan kondisi agak ngantuk dan lampu depan motor agak bermasalah. Sinarnya lampu motor bagian depan tak seterang sinar Bintang Kehidupan-nya Nike Ardilla. Dalam hati muncul pertanyaan, "Lanjut atau tidur dulu di masjid?" 

Sunmori yang Tidak Disengaja

Berkendara di minggu pagi atau sunday morning ride (sunmori). Merupakan istilah yang tidak asing bagi pengendara motor wa bil khusus motovlogger. Namun sebenarnya, kata sunmori identik dengan pegiat kehidupan “petani penggarap lahan”.

Karena hari apapun, tak terkecuali hari minggu pagi. Petani penggarap lahan mengendarai sepeda motor modifikasi semi trail menuju ladang. Petani penggarap lahan, sudah tidak pada maqom perdebatan kata, mereka sudah tahap “laku” atau “perbuatan”.

Panasnya mesin motor terasa dan badan saya agak pegal. Saya berhenti sejenak di pinggir jalan. Sembari mengawasi lingkungan sekitar. Setelah mematikan mesin motor sejenak di pinggir jalan, saya langsung menuju tanjakan yang gelap sekali atau peteng dedet. Dalam hati, ada keinginan untuk merebahkan badan di sebuah masjid, atau di emperan warung yang kondusif. Namun, mengingat saya membutuhkan waktu yang lama ketika tidur dan kurang suka kalau dibangunkan secara mendakak. Maka dari itu, saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan.

Menghadapi sebuah tanjakan di Gondang. Ketika berkendara di Temayang dan Gondang, imajinasi yang terbangun adalah masa pra sejarah atau nirleka di Bojonegoro. Sekitar jalan, ada batuan yang besar menyerupai peradaban megalitikhum, pohon yang besar cum berumur tua, rumah joglo, dan area persawahan.

Hembusan angin dini hari yang terkandung rasa ragu dan wedi alias takut merangsak masuk ke tubuh melalui celah pakaian dan celana dan juga menyelimuti bagian telapak tangan serta kaki. Rasa ragu dan takut semakin menjadi ketika menghadapi sebuah tanjakan yang sangat gelap plus agak tinggi.

Saya tidak menemukan banyak bintang, ada beberapa orang-orang desa yang masih ngopi. Selain itu, ada penjual sayur dengan rengkek yang ditaruh di jok belakang motor, dan sesekali juga ada mobil pengangkut ayam yang baunya sulit untuk dilupakan.

Saya mencoba membersamai pengendara motor maupun mobil yang lain, pencahayaannya lebih terang dibanding motor tua yang saya tunggangi. Karena lampu depan motor yang saya tunggangi kurang berfungsi dengan baik. Pencahayaan redup. Nanti takutnya, saya berjalan lurus terus, padahal jalannya berkelok. Bukan memorabilia/kenangan perjalanan yang saya dapatkan, melainkan hal-hal lain yang tidak diinginkan.

Potret Langit Menjelang Dini Hari
(Sumber: dokumen pribadi)

Panasnya mesin kendaraan bisa saya rasakan. Saya beberapa kali naik tanjakan, tidak berhasil. Bensin saya cek dengan menggoyang-goyangkan motor masih terasa keberadaannya, tuas kendali atau kopling dan masuk gigi pada motor sudah saya atur sedemikian rupa, lalu? Apa yang salah? Apakah ada makhluk lain yang ikut bersama saya di jok belakang?

Ternyata, pikiran saya yang kurang benar pada waktu itu. Saya memikirkan hal-hal yang tidak berwujud atau alam metafisika. Saya turun lagi, dan mencoba tidak memikirkan hal itu. Oke, setelah beberapa kali naik ke tanjakan dan motor berhenti di tengah tanjakan, akhirnya saya bisa menaklukan tanjakan itu dengan semangat, keyakinan, dan keberanian yang diiringi do'a. 

Namun tidak sepenuhnya laju motor ke tanjakan lancar. Saya juga berhenti di tengah tanjakan. Kemudian saya minggir, dan saya tuntun kendaraan. Ketika ada kendaraan lain dengan pencahayaan yang terang, membuat hati senang. Saya tidak melihat gawai lagi, dan tidak tahu, pada jam berapa saya berada di tengah hutan atau alas.

Motor mampu berjalan dengan lancar. Kelokan demi kelokan, mampu saya ikuti. Mulut komat-komit melantunkan salawat nabi, surat-surat pendek seperti An-Nas, ayat kursi, dan bacaan-bacaan yang lain keluar dari mulut dengan sendirinya. Setelah azan subuh sudah lama dikumandangkan, saya mencari tempat untuk menunaikan salat.

Motor melaju dalam tempo lama. Saya letakkan gir motor di posisi 1, menekan tuas kendali atau kopling dan memainkannya dengan penuh perasaan dan perhitungan, dan menggeber-geber atau bahasa Jonegoroan mbleyer. Hal itu saya lakukan bukan untuk menantang penghuni di sana, atau membuat jantung hewan-hewan di sana copot. Hal tersebut yang bernama bleyer cilik, saya lakukan agar aliran daya bisa sampai di lampu lebih banyak. Agar pencahayaan yang dihasiilkaan oleh lampu motor lebih terang, meskipun tidak terang-terang amat, pikir saya.

Dalam momentum perjalanan menuju Nganjuk, pernah suatu waktu saya merasakan berada di dimensi lain. Bak berada di kisah fiksi, sedang berada di tengah hutan, sang mentari belum menampakkan sinarnya, dan lingkungan sekitar berwarna kebiru-biruan. Ditambah lagi dengan suara hewan-hewan seperti burung yang bersahutan. Entahlah, hal itu sangat menyenangkan untuk dikenang dan diceritakan, namun tidak untuk diulang sendirian.

Dari kejauhan, nampak cahaya benderang. Bukan cahaya ilahi, melainkan cahaya dari proyek Bendungan Semantok. Saya lalui begitu saja, lalu-lalang kendaraan, orang-orang yang berjaga di sekitar bendungan, menghiasi pemandangan.

Pikiran saya menanyakan pembangunan itu. Apakah pembangunan bendungan benar-benar digunakan untuk mengairi sawah petani? Atau bendungan yang telah menghilangkan lahan pertanian dan perkampungan itu, digunakan demi kepentingan korporasi besar dimana elit global, pemerintahan nasional, provinsi, dan kabupaten terlibat dalam pembangunan bendungan itu?

Jangan-jangan, bendungan itu mirip dalam buku The God of Small Things yang digambarkan oleh intelektual cum aktivis dari India ‘Arundhati Roy’? Sepanjang perjalanan, banyak ibrah/pelajaran yang saya dapatkan. Fenomena alam dan sosial yang tersaji, suatu hal yang patut untuk dikritisi secara konstruktif.

Waduk Pacal di Temayang, Bendungan Semantok, dan kawasan hutan terlewati. Perjalanan yang dimulai pada hari sabtu malam (07/05), menuju minggu pagi (08/05), disambut hangatnya sang mentari. Sebuah perjalanan di minggu pagi atau sunday morning ride (sunmori) yang tidak disengaja terjadi begitu saja.

Sebuah Pagi yang Panjang di Nganjuk

Entah jam berapa saya tiba di Nganjuk. Dalam khasanah pegiat warung kopi, waktu itu bisa dikatakan isuk cilik. Sepanjang perjalanan, tugu organisasi pencak silat, lalu lalang orang dan kendaraan, dan juga area persawahan tersaji dari balik kaca helm.

Banyak rangkaian kata, ide, dan imajinasi, yang terbangun saat berkendara menuju makam pejuang hak asasi manusia, Marsinah. Sebelum melanjutkan perjalanan. Saya berhenti di sebuah masjid kecil di sekitar Rejoso, Nganjuk. Saya parkirkan kendaraan di depan masjid yang dekat dengan balai desa.

 

Motor di Halaman Depan Tempat Ibadah pada 08 Mei 2022
(Sumber: dokumen pribadi)

Saya melangkahkan kaki ke kamar mandi, membasuh bagian anggota wudhu, dan menunaikan salat subuh. Suasana hening dan agak dingin, kabut tipis menyelimuti pedesaan, dan penjual sayur menjajakan dagangannya.

Perjalanan malam hari, tengah malam, dini hari, dan pagi. Setelah dari masjid, kemudian saya menuju ke arah sepeda motor. Saya putar ke arah atas bagian cup di motor, kontak saya putar ke arah kanan, dan kaki bagian kanan menekan ke arah bawah stater manual. Bunyi suara motor tangguh dan bertenaga Honda Win 100 yang khas menggema di sekitar masjid dan balai desa, sekilas suaranya mirip mesin diesel yang digunakan pengemudi perahu di Bengawan Solo.

Setelah mesin motor menyala, saya menekan ke arah kiri tombol lampu untuk menyalakan lampu motor yang sinarnya berwarna kuning keemasan. Kopling tertekan, masuk 1, kopling saya lepas perlahan, dan jalan. Sesekali menemui jalan terjal bebatuan, skok depan berfungsi dengan baik. Begitu juga dengan bagian skok belakang motor. Daya pantul (pegas) bisa saya rasakan. Mengendarai sepeda motor dengan kopling, harus dengan perasaan, apabila asal-asalan, dijamin bakal mengalami mesin mati di tengah jalan.

Minggu pagi. Ramainya suasana pasar, orang-orang yang jalan kaki, dan beberapa warung kopi di pinggir jalan menjadi penghidup suasana. Melewati Terminal Anjuk Ladang. Setelah itu, saya bertanya kepada petugas kebersihan yang sedang membersihkan dedaunan yang gugur di jalan.

“Pak, nyuwun sewu……makam Marsinah teng pundi?”

“Oalah…sampeyan melu jalan arah Surabaya, Mas. Lurus terus, ngko nek wes tuk sekitar Kecamatan Sukomoro, coba takon wong-wong ndek kono.”

“Nggih, Pak. Matur suwun”.

Saya melanjutkan perjalanan. Sesekali berhenti dan membuka aplikasi Google Maps yang ada di gawai. Saya melewati jalan besar (provinsi), dimana truk besar, bus, dan berbagai jenis kendaraan melintas.

Ditambah lagi momen arus balik. Saya menemukan berbagai macam jenis pengendara motor. Ada yang menggunakan kardus untuk meletakkan barang-barang, mengendarai motor Legenda dan ada juga Astrea, mudik bersama keluarga dan menggendong anak, dan juga berbagai fenomena unik lainnya.

Saya mengikuti petunjuk di Google Maps. Hingga sampai pada lokasi yang menunjukkan keberadaan makam Marsinah. Arah petunjuk berwarna putih, dengan tulisan berwarna hitam. Juga ada patung Marsinah dengan tangan kiri terkepal ke udara.

Petunjuk Arah Menuju Makam Marsinah
(Sumber: dokumen pribadi)

Di sekitar itu, ada hamparan sawah, rel kereta api, dan petani penggarap lahan. Saya mengikuti petunjuk arah dan masuk di sebuah gang bewarna putih. Di Google Maps tertera “Jalan Marsinah”. Rasa kantuk mulai menyerang lagi, wajar belum ngopi pagi.

Saya terus berkendara mengikuti jalan. Suasana pedesaan, kebun tebu, petani bawang merah, menjadi penghidup suasana. Sinar mentari pada waktu itu, benar-benar menunjukkan sinarnya. Setelah beberapa menit, saya berhenti, mengambil gambar objek tentang pertanian, pembangunan jalan tol di dekat area persawahan, dan potret orang-orang desa.

Keindahan dalam Ketersesatan
(Sumber: dokumen pribadi)

Setelah melihat Google Maps. "Waduh, salah jalan". Kemudian mencari jalan alternatif. Jalan kecil, berlumpur, dan melewati aliran air persawahan. Saya teruskan perjalanan, dan kembali lagi di area patung Marsinah dan masuk ke gapura berwarna putih. Drama berputar-putar menuju makam Marsinah merupakan hal yang layak untuk dikenang, namun pahit untuk diulang. Namun tidak sepenuhnya pahit, dalam kepahitan juga ada "rasa lain" yang perlu dirayakan.

Gapura Desa Nglundo
(Sumber: dokumen pribadi)

Saya turunkan kecepatan motor, dan berhenti di sebuah area pemakaman tanpa nama dan gapura. Beberapa orang-orang desa ada yang mengarahkan pandangan ke saya, saya tidak terlalu pikir panjang akan hal itu, ah...sudahlah. Kemudian saya meneruskan perjalanan, di tengah perjalanan saya beberapa kali berhenti dan menerka lokasi makam Marsinah, “Apakah benar makam pahlawan buruh ‘Marsinah’ disitu?” Saya bergumam dalam hati. Dengan keyakinan, saya mengarahkan motor ke area pemakaman tanpa nama dan gapura yang dekat dengan sawah dan jalan tol.

Dan benar, dari kejauhan, makam Masrinah paling menonjol. Pagi itu, juga ada beberapa orang yang mengunjungi sanak saudaranya di kuburan. Jalan setapak mengantarkan saya ke area depan makam. Setelah itu, saya parkir kendaraan.

Pemandangan Alam dan Buatan di Sekitar Makam Marsinah
(Sumber: dokumen pribadi)

Tampak di sekitar pemakaman, ada petani penggarap lahan. Ada yang melakukan penyemprotan dan ada juga yang membersihkan gulma. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan lokasi makam Marsinah. Karena makam Marsinah memiliki karakteristik yang membedakan dengan makam-makam yang lain, dibatasi oleh pagar bermotif dengan cat warna merah dan putih yang mulai memudar.

Lantai keramik biru muda. Dan makam biru tua. Terpampang foto pejuang buruh dan hak asasi manusia ‘Marsinah’ di area makam. Sesekali ada cicak di bagian atap makam yang menampakkan dirinya. Saya buka pintu pagar yang mengelilingi makam, saya berlutut kemudian membacakan yasin dan tahlil untuk Marsinah.

Makam Marsinah
(Sumber: dokumen  pribadi)

Ada sapu kerik kecil yang tergeletak di area makam. Kemudian saya gunakan sapu kerik untuk menyapu dedaunan yang masuk di area makam Marsinah. Selepas itu, saya tutup kembali pintu makam. Langkah kaki menuju ke sebuah gubuk yang ada di area depan kuburan.

Sinar mentari, pepohonan besar di kuburan, aliran air sawah yang berwarna cokelat, dan daun-daun yang berguguran menjadi saksi bisu keberadaan saya di sebuah gubuk yang terbuat dari papan kayu dan bambu. Betapa nikmatnya, bisa merebahkan badan sembari menikmati hangatnya sinar mentari.

Sembari membaca karya sastra bertajuk Dongeng Marsinah karya Sapardi Djoko Damono. Tepat pada hari itu, Minggu, 8 Mei 2022 merupakan tanggal meninggalnya pahlawan buruh dan pejuang hak asasi manusia dari Nganjuk ‘Marsinah’. Marsinah meninggal 29 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 8 Mei 1993. Hingga sekarang, siapa dalang “sesungguhnya” dibalik pembunuh Marsinah masih menyimpan tanda tanya. Jika kawan-kawan tertarik untuk mengetahui siapa dalang sesungguhnya dibalik pembunuh Marsinah, ada buku menarik bertajuk Indonesia X-Files karya dokter ahli forensik 'Mun'im Idries'.  

Sebuah Jalan Menuju Pulang
(Sumber: dokumen pribadi)

Ketika di gubuk itu, ingatan saya juga melayang ke tanah Sunda. Bersama kawan-kawan di Sunda dalam waktu yang lama, berbagi cerita, menggarap lahan, melakukan pengamatan, dan yang pasti belajar dari alam. Juga pernah menikmati makan dan minum kopi bersama kawan-kawan di kota kecil di tanah Sunda di tengah area perkebunan dan persawahan yang dijaga oleh kawanan anjing yang tidak agresif. 

Ketika di sebuah gubuk di area depan makam Marsinah. Sesekali, juga ada petani yang melintas. Saya coba belajar dari mereka dengan mendengarkan cerita mereka dengan seksama, ada yang bercerita mengenai mahalnya pupuk, organisasi tani, dan lain-lain. Setelah daya dan upaya untuk pulang bersatu. Saya menghidupkan motor kembali dan menyusuri jalanan untuk pulang.