Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Annisa, Jangan Pergi Ke Saudi Arabia!

 


Rentetan kisah yang membawa Annisa pada jalan hidup yang gelap. Namun dalam kegelapan masih ada pendar cahaya yang baik untuk digaungkan.


Di desa yang terkenal dengan varietas padi unggul, Annisa tumbuh dan berkembang. Annisa tinggal di sebuah kampung yang masih memegang tinggi adat dan budaya. Annisa bukan perempuan biasa, ia mencoba menentang arus adat dan budayanya.

Kepulan kabut menyelimuti kampung Annisa. Dinginnya pagi mengiringi langkah Annisa menuju sungai untuk mencuci pakaian dan membersihkan badan.

Sebelum ke sungai, Annisa memetik daun untuk campuran air agar mandi lebih menyenangkan dan warna pakaian tidak mudah pudar. Setelah jumlah daun dirasa Annisa cukup, langkah kaki yang bersentuhan langsung dengan tanah, menuju ke sungai.

Gemericik air merupakan suara yang tidak asing bagi Annisa. Dari kecil hingga masa remaja, Annisa dan sungai merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dekat sekali, bak kedekatan antara jari tengah dengan jari manis.

Setelah mandi dan mencuci pakaian di sungai, Annisa bergegas pulang. Sepanjang perjalanan menuju pulang, orang-orang pergi ke ladang, penjual hasil bumi, dan pemandangan alam mengiringi langkah kaki Annisa.

“Habis ke mana cah ayu, pagi-pagi sudah seger…”, sapa penduduk desa yang berpapasan dengan Annisa.

“Habis dari sungai, mbok…”, jawab Annisa dengan muka sumringah dan berseri-seri.

Setelah sepuluh menit menempuh perjalanan. Annisa tiba di rumah. Rumah yang sederhana. Beratap jerami dan beralaskan tanah.

“Pagi, Mbok…pagi ini, Annisa yang mengirim makanan untuk bapak di sawah?”

“Iya…dong, siapa lagi kalau bukan kamu….,” jawab Si Mbok.

“Nggih.” Ucap Annisa. Si Mbok berpesan kalau ke sawah nanti setelah azan zuhur saja. Jangan terlalu pagi dan kesorean, agar bapak tidak kelaparan.

Matahari semakin meninggi. Azan suhur menggema di sebuah surau kecil. Setelah sembahyang, Annisa mengantarkan makanan ke sawah. Annisa mengenakan capil dan jarik.

Nampak dari kejauhan, bapak Annisa dan kawan-kawannya sedang berteduh di bawah pohon besar yang berada di tengah pematang sawah. Menikmati semilir angin dan siaran radio radio yang sinyalnya kadang hidup terkadang juga mati. Bapak Annisa bersandar di pohon. Kaki kanan lurus dan kaki kiri diangkat empat puluh lima derajat. Tangan kanannya, mengibas-ngibaskan capil ke arah kepala. Untuk menambah kenyamanan suasana.

“Pak…ini makanan dari ibu. Monggo dinikmati...,” ucap Annisa sembari memberikan makanan ke bapaknya.

“Ya…hatur nuhun, neng…”, jawab bapak Annisa dengan muka ramah.

Bapak Annisa kemudian menyantap hidangan bersama kawan-kawan. Annisa langsung bergegas pulang. Ketika perjalanan pulang, Annisa melihat keramaian di balai dusun.

Rasa penasaran hinggap di pikiran Annisa. Langkah kakinya, menuju balai dusun. “Ini ada apa, neng Yuni, kok ramai-ramai?” Tanya Annisa ke Neng Yuni. “Ini lho, ada bapak-bapak yang berpakaian rapi dan ada juga ibu-ibu dengan bedak tebal, katanya mau sosisasi, eh…sosialisasi. Ada tawaran kerjaan yang menjanjikan ke Saudi Arabia”.

Annisa semakin penasaran. “Kerja apa, neng?” tanya Annisa. “Ya…gak tahu, makannya ini dengerin omongan bapak dan ibu yang ada di depan itu dulu.”

Annisa, Neng Yuni, dan beberapa penduduk dusun mendengarkan dengan seksama, omongan demi omongan yang keluar dari beberapa orang yang melakukan sosialisasi di balai dusun.

Setelah sosialisasi selesai. Annisa dan Neng Yuni mendekat ke bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengadakan sosialisasi. Annisa dan Neng Yuni tanya-tanya lebih dekat dan mendalam terkait apa yang disosialisasikan. Tentang tawaran bekerja di Saudi Arabia. Setelah puas bertanya-tanya mereka bersamaan menuju arah jalan pulang.

***

“Neng…bagaimana, mau kerja di Saudi Arabia?” tanya Annisa. “Aing…te..tertarik, Nis. Karena itu..Si Neng Yulaekah sukses, boga duit milyaran, omah gede, siapa yang tak kepingin seperti itu?, kalau aing teh, gaskeun..”.

Setelah tiga hari sosialisasi. Petugas melakukan pendataan, untuk mendata siapa saja yang mau ikut kerja ke Saudi Arabia. Neng Yuni haqqul yaqin mendaftarkan dirinya. Dan Annisa, menyimpan pertanyaan besar dalam pikirannya. Kerena, Annisa memiliki teman di kota bernama Yudi. Kawan Annisa yang bernama Yudi pernah bercerita ke Annisa, bahwa orang-orang dusun yang hijrah ke Saudi Arabia, tidak sepenuhnya bahagia. Ada beberapa peristiwa, seperti yang disiksa majikannya, tidak dibayar, dan bahkan ada yang pulang hanya membawa nama.

Namun Annisa tidak mendaftar langsung pada waktu itu, melainkan ia berbicara terlebih dahulu kepada Si Mbok dan bapak. Petugas memberi batas waktu, kalau empat hari setelah sosialisasi, merupakan hari terakhir menyetorkan nama dan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.

Setelah azan isya berkumandang, Annisa, bapak, dan Si Mbok menghidupkan malam dengan membakar singkong di halaman rumah. Annisa juga membicarakan ihwal tawaran kerja ke Saudi Arabia.

Kepulan asap singkong bakar menghiasi malam itu. Ditemani dengan rasi bintang yang menghiasi cakrawala malam. “Mbok…, ada tawaran kerja ke Saudi Arabia. Apakah Annisa harus ikut kerja ke sana?” tanya Annisa ke Si Mbok. “Waduh..waduh..kerja kok jauh tenan, cah ayu..? yang dekat-dekat saja. Si Mbok trenyuh pirang-pirang dino gak ngerti batang hidungmu seng mbangir lan ngangenke ati…” ujar Si Mbok.

“Kalau bapak, terserah Annisa. Kalau Annisa ingin merantau ke Saudi Arabia ya silakan, kalau tidak ingin, ya…tidak apa-apa..”, perdebatan kecil menjadi pengindah pada malam itu. Namun belum ada keputusan yang mantap dalam diri Annisa.

Jam dinding terus berputar. Malam semakin larut. Angin malam menusuk pori-pori kulit, menyebabkan hawa dingin yang kurang bersahabat. Annisa, Si Mbok, dan bapak, setelah bakar singkong, bergegas masuk ke dalam rumah dan segera menuju kamar tidur.

***

Si Mbok dan bapak tidur dalam satu bayang. Dan Annisa pada malam itu, tidak tidur di kamar. Dia memilih merebahkan badan di kursi panjang yang ada di bagian ruang tamu.

Malam semakin larut. Suara bapak Annisa yang mendengkur terdengar. Si Mbok dan Annisa sudah terbiasa dengan suara dengkuran keras yang dihasilkan oleh bapak Annisa. Sedangkan pada malam itu, Annisa sulit memejamkan mata. Dia terbayang tentang kerja ke Saudi Arabia. Dan besok merupakan hari terakhir menyetorkan nama dan persyaratan administrasi.

“Ahlan wa sahlan, ya…ukhti jamilatun…anti caantik sekaliiii…mari ke Saudi Arabia dan kita bersenang-senang di tanah suci…” Sontak Annisa membuka mata. Sinar mentari merangsak masuk melalui atap jerami. Annisa kaget. Karena dia bermimpi bertemu dengan orang Arab brewok, memakai jubah putih, dengan ikat kepala bundar dan kain berwarna merah kotak-kotak di kepala. “Apakah itu pertanda baik, atau sebaliknya?” Gumam Annisa dalam hati.

Annisa bangkit dari kursi panjang. Dari luar sudah terdengar suara teriakan Neng Yuni yang membuat beberapa burung yang bertengger di pohon, berhamburan ke angkasa. “Neng Nisaaa…..Neng Nisa…Annisa gelis….cah ayu…kembang dusun….ayo,  ke balai dusun, sudah ditunggu petugas, sudah, gak usah pikir panjang-panjang….cus  daftar saja….” Entah daya dan upaya apa yang menyelimuti sukma dan raga Annisa. Dia memutuskan untuk menyetor namanya dan mengirimkan beberapa persyaratan.

Hari demi hari berlalu. Setelah tiga minggu setor nama dan  urusan administrasi lain, petugas tiba di dusun pada waktu pagi, dan siang hari, petugas memberi informasi kalau romobongan Neng Yuni, Annisa, dan kawan-kawan, langsung perjalanan ke Saudi Arabia.

Keanehan demi keanehan mulai bermunculan. Namun segelintir orang saja yang menyadari.  Siang di dusun pada waktu itu, merupakan siang yang berbeda dari siang-siang yang lainnya. Tangis haru melepas kepergian anggota keluarga ke Saudi Arabia, air mata yang menetes di tanah dusun, dan perempuan yang berduyun-duyun menuju Saudi Arabia menjadi pemandangan yang tersaji di dusun tempat tinggal Annisa.

***

Annisa, Neng Yuni, dan kawan-kawan, meninggalkan keluarga di dusun. Mereka mengikuti arahan dari petugas pemberangkatan. Setelah mereka masuk ke mobil, dusun tempat tinggal mereka terlihat dari balik kaca jendela mobil menuju Saudi Arabia.

Waktu terus berlalu. Setelah tujuh jam perjalanan, Annisa, Neng Yuni, dan kawan-kawan, ternyata tidak langsung diberangkatkan ke Saudi Arabia. Mereka harus menjalani beberapa latihan kerja di Kota P.

Rombongan yang akan dijanjikan kerja ke Saudi Arabia, menunggu dengan rasa cemas yang membelenggu. Di Kota P, juga ada beberapa seleksi lagi. Beberapa rombongan dari dusun serasa diterpa angin ketidak pastian yang bertubi-tubi. Padahal, petugas yang melakukan sosialisasi dari dusun ke dusun, menyampaikan kabar yang enak-enak saja, seperti langsung ke Saudi Arabia, dapat tunjangan, dan berbagai alasan lain.

Di sebuah tempat di Kota P. Annisa dan Neng Yuni semakin ragu. Meski beberapa pelatihan seperti bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab didapatkan, namun keraguan juga semakin berkembang.

“Neng…benar, kita mau dibawa ke Saudi Arabia?” tanya Annisa ke Neng Yuni di sela-sela aktivitas tempat latihan  kerja di Kota P. “Iya…bener…ning geulis..”, jawab Neng Yuni dengan wajah yakin namun juga ada keraguan tersimpan di balik wajah Neng Yuni.

Hari demi hari berlalu. Jadwal keberangkatan telah tiba. Setelah melewati hari-hari yang pengap, dapat makan hanya satu kali sehari, dan tidur dalam dalam satu ruangan berbantal lengan. Neng Yuni dan Annisa berharap, semoga perjalanan selanjutnya lebih baik dari kehidupan di sebuah tempat yang ada di Kota P.

Rombongan Neng Yuni dan Annisa menuju bandara di Kota J. Di sebuah bandara SH. Tiba di bandara SH, Annisa seakan-akan tidak percaya dengan megahnya bangunan kaca yang menjulang ke cakrawala, dan lalu-lalang berbagai jenis kendaraan. Karena di dusun, Annisa belum terbiasa melihat pemandangan yang ada di Kota J. Karena di dusun Annisa, tidak ada bangunan yang menjulang tinggi, bus kota, pesawat terbang, dan kereta api.

Setibanya di bandara SH yang megah nan mewah yang berdiri di Kota J, petugas yang membawa rombongan Annisa, Neng Yuni, dan kawan-kawan, tidak langsung menuju pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Saudi Arabia. Mereka dalam waktu yang agak lama, yaitu dua hari, harus menjadi orang-orang bandara. Mereka cari makan sendiri di sekitar warung kecil yang ada di bandara, sembahyang di musala yang ada di bandara, dan tidur di kursi-kursi yang ada di bandara.

Rombongan Neng Yuni dan Annisa menjadi saksi hidup keramaian bandara pada waktu itu. Setelah lelah menunggu, akhirnya rombongan Neng Yuni dan Annisa memperoleh tiket penerbangan. Mereka hanya ikut saja arahan pertugas yang akan membawa mereka ke Saudi Arabia, selalu menganggukkan kepala tanda setuju terhadap omongan petugas yang akan membawa mereka ke Saudi Arabia.

Rasa ragu perlahan luntur. Rasa lapar, bayang-bayang kesuksesan, dan kenyamanan yang lain, mengikuti langkah kaki Annisa beserta rombongan menuju ke sebuah pesawat. Mereka yakin kalau pesawat yang akan mereka tumpangi akan mendarat di Saudi Arabia dan mereka bisa langsung  mengais pundi-pundi rial. Mereka berpisah dengan petugas yang mengantar mereka ke bandara. Langkah kaki Annisa menuju tempat persiapan keberangkatan, mengecek persyaratan, barang bawaan, dan lain-lain.

Petugas bandara memandu mereka hingga menuju pintu masuk pesawat terbang. Pengalaman pertama dalam hidup Annisa, Neng Yuni, dan kawan-kawan. Mereka naik pesawat. Serasa berada di alam mimpi. Neng Yuni dan Annisa duduk berdampingan. Annisa berada di dekat jendela pesawat dan Neng Yuni di dekatnya.

“Neng Yuni, semoga kita selamat sampai tujuan, yah….” , “Amien”. Pesawat bersiap untuk mengudara. Pramugari memerintahkan penumpang pesawat untuk mengenakan sabuk pengaman. Dan pesawat bersiap mengudara. “1,2,3…….”, pesawat perlahan berjalan. Pelan, bertambah kecepatan, semakin kencang, dan mengudara di langit. 



Bersambung….

***