Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pada Suatu Senja di Makam Pramoedya

 


Di suatu waktu yang amat sangat berkesan. Foto-foto ketika berziarah di makam Pramoedya Ananta Toer berhasil saya temukan. Berikut masih tentang senja di Jakarta dan kisah-kisah yang menyelimutinya.

Jakarta, medio Maret 2021. Pandemi covid-19 melanda Indonesia. Angkat topi, bagi pekerja dimanapun Anda berada wa bil khusus petugas medis dan relawan yang bertaruh nyawa. Bunga-bunga yang gugur di sebuah ruas jalan Ibu Kota baunya semerbak wangi, mengiringi kepergian orang-orang karena pandemi.

Ada sebuah ‘daya’ ketika pada bulan Juni tahun ini, menulis tentang memorabilia ketika menginjakkan kaki di Jakarta. Saya tidak tahu menahu sebelumnya, kalau bulan Juni, tepatnya pada tanggal 22 Juni adalah hari ulang tahun Jakarta.

Daya itu terbangun dari sebuah memorabilia, angan, dan keinginan untuk menuliskannya. Setelah sekian purnama, tidak melihat kumpulan foto partikelir tentang Jakarta. Baik yang berada di laptop maupun smart phone.

Suasana Jakarta pada Medio Maret 2021
(Sumber: dokumen pribadi)

Ketika masuk pada bulan ke-enam dalam kalender masehi ini, ada suatu yang terpatri dalam pikiran yang dekat dengan Jakarta. Sebuah puisi bertajuk ‘Hujan Bulan Juni’ karya Sapardi Djoko Damono. Selain itu, ada karya musik dari Jason ‘Jeje’ Ranti yang berkisah hal ihwal Pak Sapardi. Yang liriknya, “Berlayar ke Depok di waktu pagi hari……Sambil menulis lirik untuk lagu pop…Bilangnya begini maksudnya begitu……Kita abadi yang fana itu waktu….,”.

Musik dan pusisi tersebut mampu menambah semangat dan membangkitkan memorabilia tentang Jakarta. Berdasar pengalaman ketika menginjakkan kaki di Jakarta, ada beberapa hal yang berkesan. Salah satu di antaranya pada suatu senja ketika berziarah di makam begawan sastra dari Indonesia yang berasal dari Blora ‘Pramoedya Ananta Toer’.

Akhirnya, Foto Itu Ketemu Juga

Melalui sebuah pencarian yang lumayan memakan waktu. Foto ketika berziarah di makbaroh/makam Pramoedya ketemu juga. Proses ketemunya foto, berawal dari sebuah foto yang berisi mengenai sebuah ucapan salam dari Jakarta berlatar belakang Momunen Nasional (Monas) yang saya ambil pemandangan foto itu dari Stasiun Jatinegara. Untuk seorang perempuan yang sekarang sudah dipersunting orang.

Perempuan yang malang. Mencoba memendam rasa tidak suka terhadap budaya feodal yang masih mencengkram dalam sebuah organisasi. Dalam postingannya di beberapa sosial media, ia seakan-akan menunjukkan kesenangan dan kebahagiaan. Namun sesungguhnya, dalam sanubari kecilnya, ia sedang remuk redam.

Perempuan itu, terkadang mengirim pesan kepada saya dan saya juga mengirim tulisan tangan dalam bentuk surat untuknya (hingga sekarang masih saya simpan dan arsipkan surat itu). Surat-surat tulisan tangan tersebut dibuat untuk sekadar tahu, dimana saya berada dan sedang bergelut apa dalam kehidupan yang fana dan penuh tanda tanya ini.

Dia perempuan yang baik secara personal, aktif pada tengah malam dan memaknai aktivitas tengah malam untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Terkadang dia cemas, ketika saya jarang aktif di sosial media, dalam benaknya, “Apakah saya sedang berada di Plantungan?, atau mungkin sedang berada di sebuah tempat pengasingan yang mirip dengan penjara di tanah Pasundan yang berdiri di kaki Gunung Gede Pangrango?, atau sedang berada di Digoel, bermain di Saritem, atau Kali Sari? Atau mungkin berada di dimensi lain?”.

Sudahlah, saya tidak harus menceritakan panjang lebar tentang perempuan itu pada kesempatan kali ini. Semoga, perempuan itu bahagia dengan suaminya. Dan untuk menjaga sanubari suaminya, saya tidak akan pernah mengirim surat lagi untuknya. Namun, saya menganggap dia adalah ‘kawan sebagai manusia’ bukan ‘kawan dalam organisasi’ karena pandangan ekonomi-politik organisasi yang pernah kita bidani kurang sesuai dengan apa yang pernah saya pikirkan maupun di AD/ART, dan sekarang organisasi itu telah menjadi kaki tangan politisi, centeng oligarki, dan hanya bermanfaat dan dimanfaatkan oleh segelintir orang saja, sial!

Namun, dari foto salam Jakarta yang diambil dari Stasiun Jatinegara berlatar belakang Monas,  saya berhasil menemukan beberapa foto ketika berziarah di makam Pramoedya. Makamnya berada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, yang barada di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Saya melakukan ziarah pada suatu hari di medio Maret 2021.

TPU Karet Bivak
(Sumber: Dokumen Pribadi)

Perjalanan Menuju Makam Pramoedya

Langit di Jakarta menampakkan gelapnya. Lampu-lampu di pinggir jalan menunjukkan sinarnya. Lalu-lalang kendaraan wa bil khusus bus Transjakarta menghitamkan aspal Ibu Kota. Meskipun pandemi, Jakarta masih tetap ramai. Jika dibandingkan dengan keramaian yang ada di Bojonegoro.

Berada di Jakarta. Kurang afdal rasanya kalau tidak berziarah. Alhamdulillah, pada waktu itu, diberi kesempatan untuk berkunjung ke makam Pramoedya.

Setelah usai mengikuti kegiatan yang membahas mengenai paralegal, saya membuka gawai ‘Google Maps’. Kemudian mengetik ‘Makam Pramoedya’. Saya menggunakan ojek daring untuk menuju TPU Karet Bivak.

Sepanjang perjalanan, lalu-lalang kendaraan, orang-orang yang berjuang mengais rezeki di sepanjang jalan, kereta komuter yang lalu-lalang, dan gedung-gedung pencakar langit menjadi kawan perjalanan dan menjelma cum mengakar menjadi panorama Jakarta yang membedakan dengan kota-kota lainnya.

Saya tidak hafal, rute-rute mana saja yang saya lalui pada waktu itu. Saya menikmati perjalanan, dan tidak sadar, sudah sampai di depan TPU Karet Bivak yang di sekitarnya terdapat banyak gedung pencakar langit menjulang tinggi yang menantang cakrawala Ibu Kota.

Saya tengok ke kanan dan ke kiri. Ke atas dan juga ke bawah. Saya turun dari kendaraan ojek daring, memberikan uang tunai kepada pengendara motor ojek daring, dan tidak lupa mengucapkan “terima kasih” kepada pengendara ojek daring.

Langkah kaki menuju gerbang makam. Selanjutnya, menuju orang yang berjualan bunga dan botol yang berisi air wangi yang merupakan seperangkat alat ziarah di Jakarta. Pada waktu itu, banyak orang yang beraktivitas di TPU Karet Bivak. Ada yang berziarah, berjualan, dan membersihkan makam.

Setelah membeli bunga dan botol yang berisi air wangi, langkah kaki menuju musala kecil yang berada di area depan TPU Karet Bivak untuk menjalankan ritual ‘salat asar’.

Setelah salat asar, saya menyaksikan fenomena alam dan sosial yang terhampar di makam. Bentuk makam di TPU Karet Bivak unik-unik dan nuansa di area makam atau kuburan berbeda dengan makam-makam yang lainnya. Apalagi kalau dibandingkan dengan Makam Eyang Manis yang berada di Desa Campurejo maupun Makam Islam di Desa Mulyoagung, Bojonegoro.

Beberapa makam di TPU Karet Bivak ada yang diperi pagar, ada yang bentuk nisannya tinggi, ada yang berhias bendera merah putih, dan lain-lain. Dan juga rumput jepang yang tumbuh dan berkembang dengan rapi, menambah elok pemandangan yang ada di TPU Karet Bivak. Saya tidak langsung menuju makam Pramoedya pada waktu itu, melainkan berkeliling di area makam-makam yang lain terlebih dahulu.

Di TPU Karet Bivak, terukir nama penjahit sang saka merah putih ‘Fatmawati Soekarno’, terukir juga dengan indah plus artistik Sang Binatang Jalang ‘Chairil Anwar’, dan lain-lain. Namun pada kesempatan sore itu, langkah kaki fokus mencari nama sastrawan penulis novel Bumi Manusia dan Bukan Pasar Malam ‘Pramoedya Ananta Toer’.

Saya bertanya kepada seorang petugas makam terkait lokasi tempat peristirahatan terakhir Pramoedya. Petugas makam tersebut kemudian menunjukkan arah jalan menuju makam Pramoedya.

Saat Berada di Dekat Makam Bung Pram dan Setelahnya

Setelah beberapa menit mencari keberadaan makam Bung Pram, akhirnya ketemu juga. Langit di Jakarta semakin gelap membiru. Lampu di sekitar TPU Karet Bivak menyala. Saya duduk sejenak sembari menundukkan kepala seraya memanjatkan do’a. Kemudian membuka gawai dan membaca surat yasin untuk sastrawan yang pernah bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) ‘Pramoedya’.

Ziarah di Makam Pramoedya Ananta Toer
(Sumber: dokumen pribadi)

Setelah itu, saya taburkan bunga di bagian atas makam dan menyiramkan air yang wangi di bagian penanda makam yang berwarna hitam dengan ukiran aksara berwarna emas. Saya basuhkan air ke penanda makam, dan sisanya saya percikkan air di bagian makam Pramoedya dan sekitarnya.

Kemudian saya berdiri dan jalan-jalan di area TPU Karet Bivak hingga azan magrib berkumandang. Langkah kaki menuju pintu keluar makam. Desir angin yang berhembus pada senja kala itu, menjadi saksi bisu kunjungan yang bermakna dan akan teringat sepanjang masa. Senja di Jakarta pada waktu itu, amat berkesan dari senja-senja di Jakarta di waktu yang lain.

Setelah berziarah ke makam penulis asal Blora yang lahir pada 6 Februari 1925 itu, menambah keinginan untuk berkunjung ke makam-makam yang lain. Ingin rasanya di lain waktu berziarah ke makam penulis Catatan Harian Seorang Demonstran ‘Soe Hok Gie’, founding parents pers Indonesia ‘Tirto Adhi Soerjo’, srikandi Gerwani dari Bojonegoro yang menghembuskan nafas terakhir di tanah Betawi ‘Lestari’, makam Mbah Priok di Jakarta Utara, begawan reforma agraria Indonesia ‘Gunawan Wiradi’, Haji Misbach, Ali Archam, Semaun, Soedjatmoko, Munir Said Thalib, Tan Malaka, dan lain-lain.

Untuk mengakhiri tulisan pada artikel kali ini, saya akan mengkutip pesan terakhir dari penulis yang menghembuskan nafas terakhir di Jakarta, 30 April 2006, siapa lagi kalau bukan Pramoedya Ananta Toer. Pesan terakhirnya adalah, “Pemuda harus melahirkan pemimpin”.