Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari Terakhir

 

Cerita tentang angin yang bertiup di hari-hari akhir. Hari terakhir yang maha luas dengan fenomena-fenomena yang mutakhir.

Genteng sebagai atap rumah, tak mampu menahan semburat cahaya mentari. Ditambah lagi dengan kandungan minyak dalam perut bumi di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi. Tambah lagi, orang-orang yang sedang berebut kue “emas hitam”. Pasti panas. Namun jangan khawatir, ada penjual es degan di pinggir jalan.

Kisah ini terjadi di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi plus energik dan produktif. Dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro, Jawa Timur. Hari terakhir. Di bulan ke tujuh dalam klalender masehi?

Namun ini bukan tentang hari terkahir di bulan Juli. Kisah hari terakhir dalam penanggalan kalender hijriah. Berikut ragam kisahnya.

Dari Belakang Desa Campurejo

Melihat sesuatu dari belakang penuh tanda tanya. Misal ketika dalam perjalanan, di tepi jalan melihat seorang berambut panjang. Kalimat, “Mbak..”, mungkin bisa jadi sapaan. Namun, itu belum tentu “seorang mbak”.

Bisa jadi seorang “mas-mas” seniman yang sedang memanjangkan rambutnya. Ada ketidak pastian ketika melihat suatu objek dari belakang. Terkandung “misteri” di dalamnya.

Sebelum suronan. Saya diundang paman untuk cangkruk di beranda rumah. Paman atau biasa saya panggil “lek”, ada beberapa kesamaan dengan saya. Salah satunya suka dengan sejarah. Akhir ramadhan, biasanya saya nyekar di Makam Mulyoagung bersamanya. Pernah juga, kami berangan-angan membuat rancangan silsilah keluarga.

Akses jalan di sekitar Makam Eyang Manis

Bakat spiritual paman, tidak jauh dari bapaknya yang juga merupakan kakek saya sendiri. Namun paman tidak terlalu menggeluti hal-hal semacam itu secara berlebihan. Dia hanya fokus pada kajian tentang benda pusaka 'keris'. Waktu kakek masih hidup, dulu di rumahnya sering didatangi orang-orang. Tangisan bayi, “oek…oek…oek...........”, merupakan suara yang akrab dengan telinga saya. 

Sebuah keris yang berada di tembok menjadi pengindah kamar kakek. Dan waktu suro, pada saat rembulan menyinari bumi. Bersama air dengan bayangan rembulan, kakek mencuci koleksi pusakanya. Dicuci dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Seperti kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.

Saya terkadang takut dengan kakek. Waktu kecil, di antara cucunya paling bandel plus ndableg adalah saya. Dan yang paling diingat-ingat juga saya. Tidak ada alasan metafisika, adanya alasan yang berwujud, karena di antara cucunya yang sering bermain dan terkadang menggoda ya..., siapa lagi kalau bukan saya, wqwqwq. 

Hingga beberapa kali lemparan sandal berwarna emas mendarat di tubuh saya. Namun, ketika kakek telah tiada, saya juga merasa kehilangan. Pengemudi sepeda “Marubeni” itu telah tiada dan meninggalkan nama yang terkandung kisah di dalamnya.

Teringat, siang menjelang sore mengiringi jenazahnya, sinar mentari manampakkan terangnya. Beberapa orang datang membacakan yasin dan tahlil waktu pagi buta. Raga yang sudah berpisah dengan sukma, ditutupi kain jarik.

Ada kisah menarik sebelum, malaikat maut menjemputnya. Pak Lek, pernah bercerita, sebelum kakek atau bapaknya meninggal dunia, melarung beberapa pusaka ke Kali Sala atau Bengawan Solo. Konon, hal tersebut dilakukan untuk membersihkan ilmu-ilmu yang sekiranya perlu untuk dibuang atau dibersihkan.

Ketika “benar-benar sudah meninggal”, dan jenazahnya diantar mobil ambulan dari Rumah Sakit Lama ‘dr. Sosodoro Djatikoesoemo’ (Jalan Dr. Wahidin) ke Pohagung, sanak keluarga dan saudara memadati rumah almarhum. Alam juga merespon fenomena itu, terlihat tanaman sirih (Pipper bettle L.) yang ditumbuh kembangkan oleh almarhum yang berada di dekat pohon mangga, juga ikut mati. 

Ketika jenazah kakek diistirahatkan di area ruang tamu, ada sebuah gunting di bagian tengah. Dan ublik yang terbuat dari botol minuman kaca diisi minyak dan dipasang sumbu, menjadi penghangat jasadnya. Saya hanya ndepipis di sekitar lorong yang menghubungkan ruang tamu dan tengah.

Sesekali hujan air mata yang sesungguhnya maupun tangisan cino menjadi pemandangan yang tak asing pada waktu sebelum kakek tertanam di bumi di bawah lindungan mega pohon kuburan.

Setelah jasad kakek diberangkatkan untuk menuju rumah impian (kuburan), rumah yang dibangun oleh nenek dan kakek dengan keringat dan air mata berubah sunyi. Kirim do’a 7 hari setelah meninggal, 14 hari, hingga 1000 hari atau nyewu kakek menjadi penghias rumah dan pendar cahaya menerangi gelapnya rumah kakek yang baru, dimana lagi kalau bukan di kuburan. Yang biasanya saya dan paman menjenguknya ketika hari-hari tertentu di Makam Mulyoagung. 

Cerita Campurejo dari belakang, saya dapat dari kakek dan paman. Jika kakek akrab dengan tanah dan air di Desa Campurejo karena pernah menjadi petani penggarap lahan dan masih sering golek kangkung (cari kangkung) menjelang kematiannya, kalau paman saya akrab dengan gedung-gedung. Gedung yang bukan hanya sekadar gedung. Bukan gedung-gedung pencakar langit, maupun gedung wakil megaphone.

Campurejo Dari Belakang (Ihwal Kisah Eyang Manis dan Kisah-Kisah yang Menyelimutinya)

Campurejo Dari Belakang, Paman, dan Suara Rakyat Suara Megaphone?

Karena, rata-rata sependek pengetahuan saya. Dalam drama kehidupan yang maha kecil jika disaksikan dari galaksi Bima Sakti, wakil rakyat diisi oleh penggemar berat megaphone. Atau, dalam istilah lain, diisi oleh mantan lelaki maupun perempuan yang pernah berkalung megaphone.

Pokoknya megaphone jangan sampai lepas. Hingga saat tertidur, suara ngorok terdengar dan harus disuarakan melalui megaphone. 

Setelah menanggalkan almamater, pakai kemeja dengan logo pemerintahan, “keren, kan?”. Atau setelah almamater nama kampus kelas kakap hingga kelas iwak jatul tanggal, terbitlah jas yang hanya menjadi saksi bisu suara manusia yang konon menyandang sebutan sebagai wakil megaphone, eh wakil rakyat maksudnya.

Dalam pikiran saya terbayang, bagaimana founding parents Indonesia beradu gagasan dengan berapi-api (kalau sekarang mungkin adu tas branded). Semangat yang membara hanya jadi emoticon saja. Namun hal itu tidak sepenuhnya keliru, bukan. Benar dan keliru di dunia ini, ada yang mutlak dan relatif. Jika benar, belum tentu benar semuanya. Terdapat printilan kesalahan. Begitupun sebaliknya.

Kalau sekarang, saya kurang tahu. Apakah ada sosok seperti pentolan Masyumi ‘Bung Muhammad Natsir’ yang berdebat panas di meja perundingan bersama pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) ‘Bung Aidit’ namun panas reda ketika ngopi bersama? Kalau sekarang? Kita akan maksi alias makan siang di restaurant kelas wahid, setelah itu ngopi di pinggir jalan kopi-kopi dari negera lain, dan jangan lupa bermalam di hotel bintang lima. Sempurna!

Paman saya akrab dengan gedung-gedung. Dari gedung yang berpenghuni, hingga terbengkalai. Hingga penghuni gedung, baik yang nampak maupun tidak, akrab dengan paman saya.

Sayang, paman belum lihai dalam mengetik aksara di gawai maupun tulisan. Pasti kalau bisa, ia akan melukiskan dengan kata, huzun atau kemuraman demi kemuraman di gedung-gedung yang pernah ia jaga.

Campurejo dari belakang. Tersaji dari kisah-kisah kakek dan paman. Dan pada tengah malam, ketika saya sedang mengumpulkan sumber (heuristik) sejarah desa, ia tahu maksud saya. Kalau zaman dahulu, ketika paman saya masih kecil, saat padang bulan, nenek akan mengajak anak-anaknya keluar. Menggelar tikar di beranda rumah sembari mendengarkan kisah Prabu Angling Dharma.

Hal tersebut merupakan kegiatan yang lazim dilakukan orang-orang Campurejo wa bil khusus Pohagung ketika rembulan menampakkan wujudnya bunder ser. Cerita rakyat yang didengarkan di telinga anak-anak Pohagung seperti Prabu Angling Dharma untuk menghibur atau membesarkan hati anak-anak dan orang-orang karena telah lama dalam belenggu penjajahan (imperialisme dan kapitalisme), bahkan hingga sekarang Indonesia masih terjajah. 

Kalau dulu perjuangan fisik. Perang kentara. Di era yang konon sebagai Revolusi Industri 4.0, perjuangan pemikiran juga diperlukan. Gerakan “isme-isme” perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh, dan mencoba untuk mengejawantahkan gerakan dengan berbagai cara. Bisa dengan ekonomi tanding ‘alternatif’ maupun pendidikan alternatif.

Alternatif atas “kuasa pasar” yang telah mencengkram burung garuda sekian lama. Hingga ketika mau mengudara ke angkasa, rasa berat mengikuti burung garuda.

Cerita-cerita yang tumbuh dan berkembang di Pohagung, selain menjadi hiburan, juga terkandung ibrah di dalamnya. Selain kisah tentang Prabu Angling Dharma, Mbah Krapyak, Eyang Manis, Dalangoro, sinden dingklek, dan lain-lain. Juga ada kisah-kisah tentang orang-orang Pohagung di era kontemporer. Namun yang menarik adalah kisah masa lampau daerah yang nama daerahnya sudah tertera dalam prasasti canggu (Hayam Wuruk) i dalangara

Namun itu masih hipotesis, perlu penelitian sejarah (lagi dan sungguh-sungguh) untuk membuktikan bahwa i dalangara yang tertera di prasasti canggu, adalah kawasan Dalangoro yang berada di Dukuh Pohagung, Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro.  

Banyak kisah yang berkembang. Saban orang memiliki versi tersendiri. Mana yang bisa dikatakan “sejarah” atau the real history? Yang bisa dikatakan “sejarah” adalah yang patuh pada metodologi penelitian sejarah.

Dimulai dari heuristik atau pengumpulan sumber, kritik atau verifikasi, kemudian melakukan laku interpretasi atau penafsiran, dan baru ke historiografi atau penulisan sejarah.

Pertemuan tengah malam bersama paman merupakan laku kritik atau verifikasi. Terkait temuan data-data di lapangan, maupun cerita dari orang-orang. Pada suatu siang menjelang sore, saya mencoba melihat Campurejo dari belakang.

Dengan mengendarai sepeda motor, saya berkeliling di sebuah jalan yang dekat dengan kuburan Eyang Manis. Merasakan nuansa angin Campurejo bersama dengan suara pohon bambu atau greng, menyaksikan beberapa orang yang melakukan aktivitas di kuburan, dan mengabadikan momen di sekitar komplek pemakaman Eyang Manis dari belakang di hari terakhir ‘jum’at’ dalam sistem penanggalan Islam dalam Dzulhijjah 1443 H sebelum memasuki bulan Muharram atau Suro 1444 H.

Merekam Sisi Lain Bojonegoro Kota

Rumah Tradisional di Dekat Bengawan (Desa Banjarejo)

Pamungkas Dzulhijjah, 1443 H. Setelah puas menikmati Campurejo (Pohagung) dari belakang, saya menelusuri tempat-tempat lain di Bojonegoro Kota. Seperti jalan tembusan yang menghubungkan Desa Campurejo dengan Banjarejo.

Jalan tersebut menjadi langganan lewatan saya, ketika ada kawan dari luar kota maupun luar kecamatan berkunjung ke Bojonegoro Kota. Jika kawan saya ingin jalan-jalan atau explore Bojonegoro Kota, jalur tersebut tidak pernah absen untuk saya lalui. Jalan tembusan tersebut, banyak terkandung kisah. Arah menuju jalan tembusan Campurejo (Pohagung) ke Banjarejo, dari rumah saya yang konon "Surga Pojok Kota" langsung lurus ke arah tanggul.

Sampai tanggul belok kiri. Lurus terus hingga menuju sekitar area Makam Eyang Manis. Bukan bagian depan makam. Melainkan sisi samping area pemakaman. Paving yang memberontak karena "rezim paving" yang tak lagi berkuasa, menjadi kawan perjalanan.

Semilir angin, suara alam dari greng, dan WC umum merupakan pemandangan yang ada di sekitar tempat menuju Banjarejo. Waktu saya kecil atau anak-anak, area di sekitar pemakaman pernah menjadi genangan air yang dimanfaatkan untuk tambak, ada juga area sawah.

Masa anak-anak, hasrat untuk bluron atau sekadar gopak ala kerbau amat sangat membara. Kalau di tahun 2022, tidak bisa lagi digunakan untuk gopak. Bisa sih, namun habis gopak terbitlah babak (luka gores), wqwq. Karena yang dulunya tempat gopak adalah rawa-rawa, sekarang berubah menjadi permukiman maupun tempat gembala kambing. 

Jalan tembusan menuju Desa Banjarejo

Ketika berkunjung di saban tempat, saya mencoba membayangkan memorabilia/kenangan. Merupakan suatu hal yang menyenangkan. Salah satunya di jalan tembusan Campurejo-Banjarejo.

Motor terus melaju. Di jalan setapak yang dihiasi paving, menjadi medan kendara. Menikmati aliran Kali Sala yang mengkilat, coklat plus mengkilat. Melewati pos pengintaian Kaliketek, bawah jembatan Kaliketek lama dan baru, dan nuansa keramaian Banjarejo (dari sisi lain) meskipun sepi.

Tampak dari Kejauhan Bangunan Cagar Budaya (Pos Pengintaian Kaliketek)

Sumber-sumber sejarah dari Negeri Ratu Wilhelmina 'Belanda' menambah nuansa sisi lain Bojonegoro Kota wa bil khusus di Banjarejo. Warung kopi yang berada di bawah jembatan Kaliketek baru, merupakan warung kopi yang ikonik. 

Warkop tersebut menjadi tujuan, ketika ada kawan dari luar kota berkunjung ke Bojonegoro. Menikmati semilir angin bengawan, mencoba membayangkan ramainya bengawan Solo, orang-orang Bengawan, ihwal peradaban sungai di Bojonegoro, dan lain-lain.

Di hari jum’at di penghujung hari penanggalan hijriah, terdapat perahu yang berada di pinggir bengawan. Perahu tak bertuan. Berada di tepi bengawan. Menjadi pengindah panorama jembatan.

Perahu Tak Bertuan di Pinggir Bengawan (Dekat dengan Jembatan Kaliketek Baru)

Jembatan Kaliketek (lama) yang memiliki nilai historis. Menjadi saksi bisu perjuangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam Agresi Militer Belanda (AMB) jilid II. Dan tentunya juga menjadi saksi bisu, orang-orang yang tak berdosa, dihabisi nyawanya. Dalam kemelut peristiwa 65 di Bojonegoro (#SeptemberHitam).

Di Sekitar Bengawan Solo yang Melintasi Desa Banjarejo (Gambar diambil pada 29 Juli 2022 pukul 14.52 WIB)

Dekonstruksi Kehidupan, Belajar di Lokalisasi Kalisari dan Menuju Hutan Jati Tak Bertepi

Banjarejo dekat dengan tempat lokalisasi yang terkenal di Bojonegoro, apa lagi kalau bukan Kalisari yang berada di Desa Banjarsari atau orang-orang Pohagung sering menyebutnya ‘Njarsari’. Tempat tersebut amat sangat legend.

Sinar mentari menjelang sore, menampakkan sinarnya. Cuaca cerah. Mendukung proses jelajah. Motor masuk di area lokalisasi yang tak ada papan lokasi. Nampak anak-anak bermain dengan riang di lapangan. Daun-daun pisang yang berada di kanan dan kiri jalan, bergerak tertiup angin, melambai, bak mengucapkan “Selamat, Anda telah tiba di Kalisari”. Dan ada juga beberapa motor dan mobil yang terparkir dengan rapi.

Ada bapak-bapak yang duduk di depan rumah. Di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu. Bapak itu sedang menikmati nikmat Tuhan di sore hari. Sembari menyaksikan lalu-lalang kendaraan dan orang di lokalisasi, yang tak ramai ketika sore, namun semakin ramai ketika malam menunjukkan gelapnya.

Perempuan-perempuan tangguh yang mengais rezeki, juga nampak di depan rumah. Maklum masih sore, beberapa rumah masih tertutup rapat. Nuansa Kalisari wa bil khusus di bulan Agustus pada malam hari, sangat ramai. Kawasan yang konon full senyum plus full jedag-jedug. 

Dipercantik dengan kemerlap lampu warna-warni, aktivitas penduduk Kalisari, dan berbagai macam jenis suara orang-orang yang karaoke. Jalan di lokalisasi Kalisari, berbentuk letter U. Pada sore itu, saya masuk dari jalan yang ada borg berwarna hijau dan keluar di jalan yang ada papan nama jalan berwarna putih beraksara hitam ‘JL.Kuncisari’.

 

Papan Nama Jalan di Daerah Kalisari

Banyak ibrah/pelajaran yang bisa dipetik dari melintasi lokalisasi Kalisari. Salah satu di antaranya, upaya untuk senantiasa berbaik sangka atau husnudzon kepada semua makhluk.

Orang-orang di Kalisari, juga hamba Tuhan. Dan dari Kalisari, juga bisa belajar, bagaimana kasih sayang Tuhan kepada makhluknya. Selaras dengan nama-nama Tuhan yang baik (asma’ul husna), ar-rahman dan ar-rahiim. Dan satu lagi, ihwal sifat Yang Maha Pengampun dari Tuhan Yang Maha Esa, luasnya ampunan Tuhan, lebih luas dari Sungai Bengawan, bahkan samudera yang tersusun dari lautan.

Tak jauh dari lokalisasi Kalisari, terdapat Pondok Pesantren yang megah berdiri. Motor terus melaju menuju tempat pengolahan sampah. Di area dekat pengolahan sampah, juga ada tempat pengolahan hasil sumber daya alam. Pada sore itu, tampak beberapa orang yang menikmati secangkir kopi yang terbalut dengan debu jalan alias bledug. Karena di area tersebut ada lalu-lalang kendaraan berat.

Sebuah Jalur Tanpa Nama

Jiwa petualang yang didorong rasa ingin tahu yang tinggi membawaku ke sebuah ladang. Motor Honda WIN 100 yang saya tunggangi, seakan-akan menemukan medan tempurnya. Pada sore itu, perjalanan menanjak. Di kanan-kiri, ladang jagung (Zea mays). Ada juga berbagai jenis tetumbuhan yang lain.

Kenangan pada sore itu, mengingatkan saya pada istilah trabas (Sunda). Dan pembalap motor trail yang pernah saya lihat di sirkut Veteran. Sembari membayangkan sorak-sorai penonton dan suara komentator yang khas, “quick….quick….quick….quick…”.

Sang Surya Menyinari Dunia

Ada sebuah gubuk. Di dalamnya berisi jerigen kosong. Ada juga sebuah kandang sapi. Ada juga sebuah bedengan yang tak berpenghuni. Motor terus melaju, menuju dataran yang lebih tinggi. Saya belum menemukan batang hidung manusia pada sore itu.

Malah disambut oleh seekor ular yang melintas dengan cepat. Gerak kloget-kloget yang cepat, membuat saya dan ular aman. Ularnya, aman dari lindasan ban motor. Saya, aman karena tidak melindasnya. Sudah banyak dosa, takut menabung dosa lagi, wqwq. Setelah ada ular panjang berwarna hitam yang tidak besar melintas di jalan ladang, saya berhenti sejenak.

Motor Kelas Buruh yang Tangguh

Saya posisikan gear motor di posisi 0 ‘netral’. Kemudian saya memuaskan dahaga berburu pemandangan pada sore itu. Di sebuah dataran yang agak tinggi, jika dibandingkan dengan beberapa dataran di Bojonegoro Kota.

Setelah memotret beberapa objek di lokasi. Saya mengikuti jalan setapak ladang yang berdebu. Juga berpapasan dengan beberapa petani penggarap lahan. Saya gas motor hingga menuju di sebuah persimpangan yang sepi.

Sebuah Jalan di Antara Ladang Jagung (Zea mays)

Dalam pikiran terbesit, “Belok kanan atau ke kiri? Atau kembali saja?”. Ada pepohonan jati, entah siapa yang berkuasa atas pepohohan jati tersebut. Tak mau ambil pusing, kemudian saya kembali menuju ke arah lokalisasi Kalisari dan melanjutkan penjelajahan. 

Perbatasan Bojonegoro-Tuban: Sebuah Jalur Hiburan

Setalah dari Kalisari, ban sepeda motor terus berputar. Menuju ke sebuah jalan yang menghubungkan daerah Simo, Tuban. Jalur alternatif, ketika jembatan Glendeng sedang tidak baik-baik saja.

Jalur Alternatif Penghubung Bojonegoro (Banjarsari)-Tuban (Simo)

 
Namun pada sore itu (pamungkas Dzulhijjah 1443 H), saya mencoba menikmati kelokan demi kelokan jalan yang berdebu. Panasnya mentari, dan lalu-lalang kendaraan menjadi pengindah panorama sore waktu itu (29/07).

Jalur yang berkesan. Kesan dari jalur tersebut terbentuk dari beberapa hal, seperti, liputan tentang jalur alternatif ketika jembatan Glendeng sedang ditutup, dan yang pasti, ketika saya sedang suntuk, saya menuju jalur tersebut. Jalur yang naik dan turun, berkelok, melewati petilasanan Sunan Kali Jaga (Menilo, Tuban), kawasan jati, pemukiman, tikungan tajam, dan lain-lain.

Jembatan atau Tretek Glendeng pada Sore Hari (29/07)

Sebelum menuju perempatan dekat masjid Simo, saya sudah ancang-ancang belok ke kanan. Berhenti sejenak di jembatan Glendeng. Menikmati sore, menyaksikan orang-orang yang berlatih kesabaran dengan mancing, sepasang pemuda dan pemudi yang memadu asmara, beberapa kendaraan yang lewat, dan orang-orang bengawan dengan perahunya.

Ketika berada di jembatan Glendeng, saya membangkitkan memorabilia tentang beberapa karya ‘puisi’ tentang jembatan Glendeng. Sekitar tahun 2019, puisi tentang orang-orang yang tertunduk layu ketika berada di jembatan Glendeng, orang-orang yang sedang berkaca ke aliran bengawan dari atas jembatan. Syair-syair yang indah dikenang, namun pahit ketika menuliskan.

Selain daerah Glendeng menjadi saksi bisu deru kendaraan (mobil) Belanda ketika Agresi Militer Belanda jilid II, jembatan Glendeng juga menjadi saksi bisu perpisahan dua insan karena perbedaan pandangan ekonomi-politik dalam suatu kelompok organisasi. Meskipun pandangan ekonomi-politik berbeda, namun tetap menjalin hubungan sebagai sesama “manusia” biasa.

Pemandangan Alam dan Buatan di Sekitar Jembatan Glendeng

Biarlah, pepohonan menuju jembatan Glendeng, rangka jembatan, dan tiang penyangga jembatan menjadi saksi sebuah perpisahan. Namun tetap abadi sebagai kenangan yang tak terlupakan.

 

Orang-Orang Bojonegoro Kota: Ihwal Kisah, Tempat Ibadah, Pertaruhan, dan Membaca Makam Membaca Peradaban

Seberapa jauh Anda mengenal Bojonegoro Kota? Pernahkah berperan menjadi “gembel” di tanah sendiri? Menikmati dinginnya malam dan kerlip bintang, dari tribun alun-alun Bojonegoro Kota yang terkadang dihiasi dengan bau pesing yang ulala tidada tara.

Bermalam bersama orang-orang yang berada di sekitar Jalan Trunojoyo? Semoga Anda selalu bersyukur, rasa syukur semoga senantiasa teringat dalam diri.

Masjid Desa Mulyoagung Kecamatan Bojonegoro

Namun, pada sore terakhir di bulan Besar 1443 H menjelang Suro 1444 H, sebelum hunting objek foto di area Bojonegoro Kota (Alun-Alun dan sekitarnya), saya berhenti sejenak di Masjid Mulyoagung. Setelah sembahyang, saya mengamati lukisan kaligrafi, arsitektur, dan halaman masjid.

Bagian Dalam Masjid Mulyoagung

Masjid yang juga menyimpan sejuta kisah. Tentang salat jumat di tengah-tengah drama pemufakatan organisasi, keramahan orang yang menunggu pos di depan masjid, dan tentunya pengalaman menggulung malam hingga menjelang pagi di sebuah pos yang berada di halaman Masjid Mulyoagung.

Lukisan Kaligrafi di Bagian (Dalam) Kubah Masjid Mulyoagung

Setelah itu, motor melaju ke arah Alun-Alun Bojonegoro Kota. Melihat dedaunan yang bergoyang dibelai angin, gedung DPRD Bojonegoro yang sering sepi namun ramai kalau ada demonstrasi, tukang becak yang sedang melepas lelah di bawah pepohonan yang besar, tukang becak lain yang masih semangat mengayuh becaknya, dan suasana di sekitar Kantor Pos Bojonegoro.

Jalan Trunojoyo Saat Cakrawala Sore Menghiasi Bojonegoro Kota

Setelah puas menikmati sore di sekitar Alun-Alun Bojonegoro Kota, saya teruskan perjalanan menuju wilayah bong londho (kuburan Belanda) yang berada di sekitar pusat daerah kota (PDK) atau central business district (CBD). Beberapa kali rasa penasaran muncul, ketika melintasi bong londho.

Entah pada tahun berapa, saya pernah menemukan tulisan orang Belanda yang kurang srek kalau makam leluhurnya, dibuat warung-warung, cungkup kuburan yang artistik dibuat untuk meletakkan barang-barang, dan lain-lain. 

Area bong londho, berada di Balai Desa Kauman dan sekitarnya. Berada di Jalan M.H. Thamrin, Bojonegoro Kota. Ketika masuk area bong londho, saya parkir motor tidak jauh dari pintu masuk. Kemudian saya menyaksikan dengan seksama, bentuk makam, aksara yang terukir di makam, dan orang-orang yang beraktivitas di sekitar makam.

Permukiman Penduduk yang Berada di Sekitar Bong Londho

Ada makam W.K. Harmanus (1853-1933), Elvira Louisa Gerritsma (1926-1939), F. Jonkers (1936-1965), dan lain-lain. Sebuah artefak sosial, yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Karena makam-makam yang ada di bong londho merupakan bukti sejarah. Maka dari itu, kurang dibenarkan, misal ada penggusuran makam untuk menghilangkan jejak kolonial.

Pohon Pisang yang Tumbuh dan Berkembang di Area Bong Londho (Kauman, Bojonegoro)

Daun pisang yang berada di area bong londho melambai-lambai, diterpa angin sore. Nampak laki-laki tua yang sedang memberi makan ayam di area bong londho. Saya menyalaminya dan sedikit menyampaikan tujuan untuk berkunjung ke bong londho.

Lelaki tua yang dulunya seorang kondektur bus yang berasal dari Pulau Dewata tersebut, bertaruh hidup di Pulau Jawa wabilkhusus di Bojonegoro dan sekitarnya. Beliau bercerita banyak hal.

Seperti, kisah hidup dari Pulau Dewata menyebrang lautan dan sampai di Pulau Jawa, menjadi kondektur sebuah bus Bojonegoro sekitar tahun 1970-an, ihwal dinamika sosial dan budaya di area bong londho dan sekitarnya,kesuksesan sanak saudara salah satunya ada yang berhasil berlayar di perairan negeri el-matador ‘Spanyol’, dan lain sebagainya.

Makam W.K. Harmanus

Selain bercerita mengenai pengalaman tinggal di sekitar bong londho, lelaki tua tersebut juga bercerita tentang memorabilia/kenangan ihwal transportasi di Bojonegoro sekitar tahun 1970-an. Dia bercerita, kalau waktu itu, terminal Bojonegoro, dekat dengan Alun-Alun Bojonegoro. Sekarang, sudah jadi bangunan Perhutani yang berada di Jalan Imam Bonjol.

Setelah itu, terminal pindah ke Jalan Rajekwesi. Atau akrab disebut “Terminal Lama”. Yang sekarang menjadi Taman Rajekwesi. Setalah dari Taman Rajekwesi, baru ke Jalan Veteran. Beliau bercerita tentang memorabilia mengisi bensin dengan mode memutar alat yang berfungsi semacam pompa. Harga tiket bus Bojonegoro-Malang, yang tidak sampai 5.000, dan sebuah makam tanpa nama yang beberapa kali pernah dikunjungi orang Belanda.

Makam yang Beberapa Kali Pernah Dikunjungi Orang Belanda

Kondektur senior yang tidak hobi foto itu, dulu, ketika mau berangkat ke terminal, tinggal duduk santai di sekitar area bong londho untuk menanti kedatangan bus. Karena jalan raya tempat bong londho berada, dilalui bus-bus besar.

Beliau juga menuturkan bahwa, yang ada di bong londho, bukan hanya tertanam jasad orang-orang Belanda, juga ada jasad orang-orang Jawa. Setelah dalam waktu yang lama bercengkrama, langit menjadi gelap, menjelang azan magrib berkumandang di Bojonegoro Kota dan sekitarnya.

Salah Satu di Antara Beberapa Makam di Bong Londho yang Tertera Aksara Klinkenbern Soerabaya Auteursrecht


Setelah itu, saya putuskan untuk pamit. Ketika mau pulang, ada seorang yang mengamati motor Honda WIN 100 yang saya kendarai. Beliau sedikit bertanya tentang tahun keluaran motor, keaslian mesin, dan surat-surat kendaraan. Beliau memperhatikan dengan seksama motor berwarna hitam bercorak putih itu, sembari menikmati sebatang rokok di sore hari. 

Menjelang Pulang

Setelah menjawab beberapa pertanyaan orang tentang Honda WIN 100, saya putuskan untuk pulang. Bersiap meramu tulisan yang tersusun dari gagasan yang terbentuk dari pengalaman di lapangan. Sebuah perjalanan sederhana, yang tak akan terlupa. Tentang pengalaman hidup yang terjadi di hari terakhir atau pungkasan (red. Jawa) dalam sistem penanggalan hijriah. Kisah pamungkas Dzulhijjah/Besar1443 H, menjelang Muharram/Suro 1444 H.