Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Sekitar Makam Mahbub Djunaidi, Tak Ada Air Mata Kesedihan yang Membasahi Bumi


Ihwal Mahbub Djunaidi. Pendekar pena yang karyanya mengiringi proses kreatif pembuatan karya beberapa generasi bangsa lintas masa. Di Gerombolan Dharmawangsa untuk pertama kalinya namanya diakrabkan. Di Bojonegoro Kota namanya terkadang hanya abadi di buku pelatihan organisasi. Dan Di Bandung, tak ada air mata kesedihan di sekitar tempat peristirahatan.

 

Sekitar penghujung bulan Desember 2021. Setelah saya mengikuti sebuah pelatihan riset agraria di Arcamanik, terbangun sebuah keinginan untuk berziarah ke makam sang maestro karya tulis atau pendekar pena dari Betawi “Mahbub Djunaidi”.

Setelah mengirim desain riset, presentasi, dan perpisahan dengan beberapa kawan, pagi menjelang siang, Ardino mengantar saya ke Terminal Cicaheum untuk persiapan balik ke Bojonegoro, Jawa Timur. Bagi penikmat film Preman Pensiun karya Aris Nugraha, Terminal Cicaheum merupakan terminal yang sering menjadi latar tempat pengambilan gambar film Preman Pensiun. 

Di Sekitar Jembatan Penyebrangan Orang di Terminal Cicaheum

Sebuah terminal yang memiliki kisah tersendiri, bagi penghuni, pengunjung, dan tentunya warga Bandung, Jawa Barat. Tak lupa saya mengucapkan “hatur nuhun” kepada Ardino yang di tengah kesibukannya, mau mengantarkan saya ke Terminal Cicaheum.

Cuaca di Terminal Cicaheum pada waktu itu bersahabat. Tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Lalu-lalang orang, pedagang, dan sopir kendaraan, menghidupkan suasana terminal.

Saya langsung menuju di sebuah ruang tunggu. Setelah membeli tiket bus tujuan Bojonegoro, Jawa Timur. Beberapa kali, saya pernah menginjakkan kaki di Terminal Cicaheum. Suasana ruang tunggu dan musala yang dekat dengan jalur tikungan kedatangan bus, merupakan suasana yang tidak asing bagi saya. Namun saya juga tetap waspada terhadap barang bawaan dan dimanapun kaki berpijak.

Orang-Orang di Pintu Masuk Terminal Cicaheum

Saya tiba di Terminal Cicaheum pada siang hari. Dan perjalanan dari           Terminal Cicaheum ke Terminal Rajekwesi yang ada di Bojonegoro Kota dimulai ketika senja jatuh di Bandung dan akan tiba di Bojonegoro ketika pagi menyapa.

Setelah azan zuhur menggema di cakrawala Bandung, jam keberangkatan bus ke Bojonegoro masih lama. Saya mengeluarkan gawai di saku celana sebelah kanan, kemudian memasukkan kode angka untuk akses masuk ke gawai, dan membuka mesin pencari ‘Google’ kemudian menuliskan “Makam Mahbub Djunaidi”.

Saya rasa jarak dari Terminal Cicaheum ke makam Mahbub Djunaidi tidak terlalu jauh. Kurang lebih lima belas menit. Saya juga sudah membuat perhitungan terlebih dahulu, misalnya kalau terjadi macet, atau hal-hal lain yang tidak terpikirkan sebelumnya akan menyapa. Jaga-jaga saja, agar tetap bisa berziarah ke makam Mahbub Djunaidi dan kembali ke Terminal Cicaheum tidak melebihi jam keberangkatan bus.

Setelah ojek daring yang saya pesan tiba di titik tertentu yang ada di Terminal Cicaheum, saya menghampiri pengemudi ojek daring. Kemudian roda motor berputar, membawa saya menuju makam pendekar pena dan juga founding parents organisasi mahasiswa yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Siapa lagi kalau bukan Mahbub Djunaidi.

Jalan Raya di Sekitar Terminal Cicaheum

Bangunan bergaya eropa, lalu-lalang kendaraan, dan nuansa tanah Pasundan wa bil khusus Bandung amat terasa sepanjang perjalanan menuju makam Mahbub Djunaidi. Dari wilayah perkotaan hingga menuju jalan besar yang dilalui kendaraan bermuatan besar yang berada di wilayah Bandung bagian tepian.

Saya lupa, tepatnya di daerah mana. Yang terbayang dalam pikiran saat ini tentang ziarah ke makam Mahbub Djunaidi, adalah jalan besar dengan kendaraan bermuatan besar. Ada sebuah gang kecil, sebagai jalan masuk menuju komplek Pemakaman Assalaam sesuai dengan aplikasi Google Maps.

Karena baru pertama kali berziarah ke makam Mahbub Djunaidi, arah jalan menuju tempat peristirahatan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu, dalam pikiran berwarna abu-abu alias belum begitu jelas meskipun telah menggunakan Google Maps. Pengemudi ojek daring di Bandung juga asing dengan nama “Mahbub Djunaidi”. Kemudian pengemudi ojek daring bertanya ke beberapa masyarakat yang ada di sekitar daerah itu.

Salah satu yang bisa dijadikan patokan adalah Masjid Assalaam. Kemudian saya turun di sekitar Masjid Assalaam. Membayar jasa ojek daring, dan tidak lupa mengucapkan “terima kasih” kepada pengemudi ojek daring. Langkah kaki menuju Masjid Assalaam.

Suasana siang menjelang sore pada waktu itu, tidak ramai. Beberapa kali ada warga yang lalu-lalang, seorang anak kecil yang mengendarai sepeda dengan raut muka yang riang, dan seorang warga yang berada di sekitar area depan komplek Pemakaman Assalaam.

Jalan lorong menuju sekitar komplek  Pemakaman Assalaam

Saya bertanya ihwal keberadaan makam Mahbub Djunaidi. Orang itu faham dan tahu ihwal keberadaan makam Mahbub Djunaidi. Beliau menunjuk ke arah makam sembari memberi penjelasan tentang arah ‘blok’ makam Mahbub Djunaidi. Saya menganggukkan kepala, langkah kaki bergegas mencari makam Mahbub Djunaidi.

Menginjakkan kaki di komplek Pemakaman Assalaam. Saya tengok ke kanan dan kiri, ke atas juga ke bawah. Langit siang menjelang sore sangat cerah. Cahaya Mentari mampu menggapai makam-makam yang ada di komplek Pemakaman Assalaam.

Lumut-lumut yang ada di jalan paving komplek Pemakaman Assalaam seakan-akan mengucapkan selamat datang sembari berucap “salam”. Dua orang bapak-bapak, sedang bersih-bersih makam. Memungut dedaunan tua yang jatuh dari pepohonan dan mereka saling bercengkrama. Mereka menjadi saksi hidup kedatangan saya ketika berziarah ke makam Mahbub Djunaidi di komplek Pemakaman Assalaam.

Tampak kubah Masjid Assalaam Bandung yang tidak jauh dari komplek pemakaman

Saya merasakan nuansa yang berbeda ketika menginjakkan kaki di komplek Pemakaman Assalaam. Tidak seperti pemakaman yang lainnya. Komplek Pemakaman Assalaam seperti taman. Ada rangka besi berbentuk persegi panjang, sebagai tempat tumbuh dan berkembang tanaman yang menjalar.

Ada beberapa tanaman yang wangi, menjadi pemandangan tersendiri. Makam yang tertata, wangi, dan ada rangka besi yang terkadang karat menyelimuti dan tempat tumbuh tanaman yang menjalar. Melindungi peziarah dari sengatan sinar sang mentari.  

Setelah kurang lebih dua menit mencari keberadaan makam Mahbub Djunaidi, akhirnya ketemu juga. Ada tanda berbentuk persegi panjang berwarna hitam. Dengan aksara berwarna putih dan garis putih sebagai border. Komposisi tulisan itu adalah, “H.MAHBUB DJUNAIDI PBNU.”

Komplek Pemakaman Assalaam Bandung

Setelah menemukan tempat peristirahatan Mahbub Djunaidi, “Amboi, betapa senangnya hati”. Semacam rasa senang bak setelah presentasi di hadapan kawan-kawan dan tim penguji karya tulis. Namun semacam ada “rasa lain” yang tidak bisa dinarasikan dengan kata-kata.

Setelah makam Mahbub Djunaidi ketemu, saya melihat-lihat makam lain yang berada di sekitar makam Mahbub Djunaidi. Khususnya makam-makam yang tidak jauh dari makam Mahbub Djunaidi. Ada makam Verdi Heikal Djunaidi yang merupakan putra bungsu Mahbub Djunaidi, Hj. Fairuz Djunaidi yang merupakan putri tertua Mahbub Djunaidi, dan Hj. Hasni (putri kedua seorang ulama K.H. Asmawy yang lahir di daerah Bukit Tinggi, Sumatera Barat) yang merupakan istri Mahbub Djunaidi (dikutip dari buku Bung: Memoar tentang Mahbub Djunaidi karya Isfandiari dan Iwan Rasta).

Setalah itu, saya duduk bersila dan meletakkan sandal untuk alas. Bacaan yasin dan tahlil terkirim untuk almarhum Mahbub Djunaidi. Tidak ada kesedihan yang membasahi bumi. Melainkan rasa tertawa dalam sanubari. Selain itu, juga ada rasa bahagia bukan lagi tahap membasahi, melainkan rasa bahagia yang membanjiri bumi ketika berada di sekitar makam Mahbub Djunaidi.

Itu merupakan pahala yang mengalir deras untuk Mahbub Djunaidi dari karya-karyanya. Khususnya do’a-do’a yang akan terus mengalir dari pengagum, pembaca karyanya, keluarga, kalangan aktivis organisasi (baik dari Himpunan Mahasiswa Islam/HMI, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama/IPNU, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama/IPPNU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia/PMII, dan Persatuan Wartawan Indonesia/PWI), dan lain sebagainya.

Karya tulis yang terkandung humor di dalamnya. Humor yang elegan, bahasan sosial, politik, kebudayaan, dinarasikan Mahbub dengan kalimat yang terkandung humor di dalamnya.

Sambil menundukkan kepala, saya tertawa dalam hati, rasa bahagia atau seneng (Jawa) menyelimuti diri ketika dekat dengan tempat peristirahatan terakhir penerjemah karya George Orwell Animal Farm menjadi Binatangisme, siapa lagi kalau bukan Mahbub Djunaidi.

Makam H. Mahbub Djunaidi  Sang Pendekar Pena dari Betawi

Hal tersebut terjadi karena pernah pada suatu momen, khususnya pada Ngaji Esai yang ke-7 (acara PMII Punokawan) bersama Wahyu Rizkiawan, Widodo, Oky Wisnu, Zen, dan saya, melakukan tadarus karya Mahbub Djunaidi.

Ingat betul, kalau tidak salah kegiatan itu dihelat pada Desember 2020. Di sebuah lantai dua di sebuah rumah yang ada di wilayah Bojonegoro Kota. Setelah hujan turun membasahi bumi, kami membasahi sukma dan raga dengan karya Mahbub Djunaidi. Buku Kolom demi Kolom menjadi bahasan kami pada waktu itu.

Ndilalah yang dibuat sema’an adalah tulisan Mahbub Djunaidi tentang kuburan “akses tanah”. Seingat saya, Mahbub menulis dengan sudut pandang lain tentang kuburan. Bisnis kuburan atau komersialisasi kuburan yang terjadi di kota-kota besar.

Kemudian hal itu dihubungkan dengan suatu fenomena sosial dan politik. Tulisan tersebut mampu membuat beberapa kawan tertawa, apalagi saya sampai bekicikan ketika membaca maupun mendengar karya tulis dari Mahbub yang dibaca oleh kawan-kawan pada waktu malam itu.  

Dalam pikiran saya, “Kok…ada ya? Orang yang jenaka dalam menulis? Kondang dalam bermain diksi? Membaca tulisannya saja, mampu membuat tertawa dan memberi efek yang membahagiakan.” Mahbub Djunaidi mampu mengemas isu sosial budaya dengan bumbu humor di dalamnya, keren sekali. Dari situ, semakin menambah rasa ingin tahu saya dan memperdalam karya tulis dari Mahbub Djunaidi.

Di Gerombolan Dharmawangsa, saya berkenalan dengan karya-karya Mahbub Djunaidi. Di Bojonegoro Kota nama Mahbub Djunaidi terasa asing, mungkin hanya muncul di buku pelatihan organisasi, kaos, stiker, atau quotes secara daring. Beruntung bertemu Wahyu Rizkiawan, ia memperkenalkanku secara lebih mendalam tentang karya-karya Mahbub Djunaidi. Wahyu Rizkiawan mampu meminimalisir keterasingan Mahbub Djunaidi di Bojonegoro Kota dan sekitarnya.

Dan di Bandung (Desember, 2021), tak ada air mata kesedihan di sekitar tempat peristirahatan, adanya air mata kebahagiaan karena bisa berziarah dan mengetahui karya-karya Mahbub Djunaidi. Pemikiran Bung Mahbub akan senantiasa hidup sepanjang masa! Hatur nuhun, Bung!

Setelah merasa cukup kunjungan ke makam Mahbub Djunaidi dan membangkitkan memorabilia tentangnya, langkah kaki kembali menuju gerbang komplek Pemakaman Assalaam yang berwarna hijau. Kemudian saya menuju Masjid Assalaam sembari menunggu jemputan ojek daring.

Gerbang Pemakaman Assalaam

Setelah azan asar menggema di cakrawala Bandung, langit di Bandung tidak berwarna jingga. Sore itu, langit muram. Nampaknya hujan akan turun membasahi tempat peristirahatan Mahbub Djunaidi, Bandung, dan sekitarnya. Perjalanan pulang diselimuti awan mendung yang bergelantungan.

Tiba di Terminal Cicaheum lagi, hujan turun membasahi bumi Pasundan. Saya berteduh di warung yang berada di Terminal Cicaheum. Sembari menunggu bus jurusan Bojonegoro tiba. Hujan semakin deras, disertai angin kencang. Terlihat dari kejauhan anak-anak menawarkan jasa ojek payung dengan riang.

Mereka mensyukuri nikmat Tuhan dengan sederhana, menikmati air yang datangnya langsung dari Tuhan, air yang jatuh dari langit, apa lagi kalau bukan air hujan. Mereka tidak menggerutu ketika hujan tiba, melainkan mereka wa bil khusus anak-anak terminal yang menjadi ojek payung menyambut hujan dengan bahagia.

Setalah lama menunggu, bus jurusan Bojonegoro tiba. Saya bergegas naik, dan menyaksikan pemandangan Bandung hingga Bojonegoro dari balik jendela bus Pahala Kencana. Berinteraksi dengan beberapa penumpang bus, salah satunya orang Tuban (masih muda) yang sedang berjihad di Bandung sebagai penjual pecel lele.

Hujan turun membasahi Terminal Cicaheum

Alhamdulillah, bisa menikmati perjalanan, terjadinya pertemuan yang menyenangkan, menyaksikan Cadas Pangeran, mengabadikan kenangan melalui foto dan tulisan, memperoleh ibrah/pelajaran dalam suatu segmen kehidupan, dan yang terpenting selamat sampai tujuan.



______________

Tulisan ini merupakan kado sederhana dari alfaqir untuk mengenang Bung Mahbub Djunaidi. Dalam hati, ingin mulai menulis kemudian mengunggah tulisan ihwal Bung Mahbub ini sekitar 27 Juli, tepat dimana pencipta mars IPPNU yang sastrawi ‘Mahbub Djunaidi’ dilahirkan di bumi. Namun karena ada beberapa kendala, baru bisa unggah pada Jumat Legi, 29 Juli 2022. Alfatihah untuk Bung Mahbub Djunaidi.