Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lukman, Jurnalisme, dan Filosofi Sepak Bola


Saya dan Lukman dipertemukan di daerah tua di Bojonegoro. Hubungan perkawanan dengan Lukman mempengaruhi beberapa pengembaraan. Seperti tentang jurnalisme dan sepak bola.

 

Lukman atau yang terkadang muncul dengan nama “Luk” di surat kabar yang ada di Bojonegoro merupakan jurnalis muda. Saya dan Lukman sedang menekuni dunia jurnalistik. Memilih jalan hidup sebagai seorang jurnalis, merupakan orang-orang pilihan.

Mengapa pilihan? Karena dalam sejarah Indonesia, upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tidak bisa lepas dari peran jurnalis. Seorang dokter progresif dari Jawa ‘Bung Ciptomangunkusumo’ pernah bergelut di bidang jurnalistik, Bung Marco Kartodikromo dan Tirto Adhi Soerjo jurnalis handal yang memiliki kedekatan dengan Bojonegoro, Kiai Hasyim Asyari dalam Suara Nahdlatul Ulama, Haji Misbach dengan Islam Bergerak, Rohana Kudus, Bung Karno dan Bung Hata juga pernah menjadi seorang jurnalis.  

Kami yang tumbuh dan berkembang di daerah yang tidak ikonik dengan laut. Sulit menerima kalau nenek moyang kami seorang pelaut, apalagi seorang tentara belanda dari pribumi ‘KNIL’, bukan. Kami yakin dan percaya, bahwa “nenek moyang kami adalah seorang jurnalis”.

Mengapa jurnalis? Bukan wartawan? Kalau dibedah secara harfiah atau kata, jurnalis lebih luas cakupannya dari pada wartawan. Karena jurnalis dekat dengan journey atau perjalanan. Kalau istilah Jawanya, “lelono”.

Kalau wartawan, berasal dari kata warta atau berita. Bukan bermaksud membandingkan mana yang lebih baik dan buruk, bukan. Itu hak Anda, untuk memilih jadi seorang wartawan atau jurnalis.  

Konsep “lelono broto” dan “topo broto” merupakan dua hal yang dekat dengan seorang jurnalis. Ada saatnya, seorang jurnalis melakukan lelono broto atau berkelana, ketika mencari informasi untuk tampilan surat kabar atau media daring dari hari ke hari, misalnya.

Contoh lain, ketika ada jurnalis yang melakukan pengembaraan satu tahun penuh keliling Indonesia dengan sepeda motor. Merekam Indonesia dari dekat yang pernah dilakukan oleh Farid Gaban dan Ahmad Yunus dalam Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa (2009-2010), Dandhy Laksono dan Ucok dalam Ekspedisi Indonesia Biru (2015), dan ekspedisi yang sedang berlangsung yang merupakan kolaborasi antara Farid Gaban dengan Yusuf plus Dandhy Laksono dengan Benaya dalam Ekspedisi Indonesia Baru (2022-2023). Mereka sedang melakukan lelono broto atau berkelana. Kalau saya dan Lukman, belum pernah melakukan ekspedisi keliling Indonesia atau keliling Bojonegoro, sejauh ini perjalanan kami yang berkesan adalah ketika berkunjung plus silaturahim ke rumah Soesilo Toer di Pattaba (Blora, Jawa Tengah) dengan mengendarai sepeda motor.

Kelana (ekspedisi) yang bukan hanya sekadar kelana, apalagi hanya untuk menambah daftar wisata estetik di Indonesia, tentu saja bukan. Mereka melakukan lelono broto yang terkandung dimensi spiritual di dalamnya.

Mereka mengamini apa yang pernah dikatakan Soe Hok Gie, “Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat,….” (bukan dari Jakarta). Jika ada tudingan mereka anti Indonesia atau anti Pancasila, itu tudingan dari orang-orang sumbu pendek yang lebih suka baca berita di kanal daring, dari pada membaca buku-buku dan jurnal ilmiah, dan juga terkadang orang-orang sumbu pendek jarang berdiskusi.

Yang aneh sebenarnya, ada orang-orang yang mengaku paling Indonesia, paling Pancasila, memaknai Indonesia bukan hanya sekadar diskon, melainkan harga mati malahan! Tetapi tidak pernah mengenal keanekaragaman, memahami, dan mencoba mengenal Indonesia dari dekat. Aneh, bukan?

Dan ada saatnya jurnalis melakukan topo broto. Karena saya yakin dan percaya, kalau ingin meraskan pengalaman jurnalisme yang berkesan, jangan jadi jurnalis yang narsisnya kebangetan alias over. Lebih baik, mencoba menyeimbangkan, kapan harus topo broto dan kapan waktunya untuk lelono broto.

Konsep seperti itu, saya belajar di lingkar kecil Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insominah wa Jurnabiyah, dengan Imam Besar yang juga seorang jurnalis plus kawan diskusi “A. Wahyu Rizkiawan”. Bagaimana melakukan konsep tawadhu’ yang elegan, bukan tawaduhitas brutal apalagi taqlid buta. 

Dalam hal tulis menulis di dunia jurnalistik wa bil khusus di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro, Jawa Timur. Lukman lebih produktif, ketimbang saya yang masih banyak tidurnya. Karikatur wajah Lukman juga beberapa kali menghiasi kolom opini media cetak numoero uno di Bojonegoro.

Saya juga belajar dan membaca tulisan Lukman. Baik yang di media tempat ia bekerja, maupun di blog pribadi yang dikelola oleh Lukman sendiri. Sehabis rutinan bersama kawan-kawan di Madrasah Alternatif Guratjaga pada malam jum’at (tahlil, yasin, diskusi santai, dan apresiasi karya), selaku pegiat warkop pinggir jalan, pada dini hari, saya menikmati satu cangkir kopi dengan kletikan atau jajanan: kripik balado, krupuk tahu, dan lain-lain.

Saya membaca tulisan Lukman tentang sebuah jembatan bersejarah yang ada di tempat kelahiran Pramoedya Ananta Toer, dimana lagi kalau bukan di Blora, Jawa Tengah. Lukman menggambarkan jembatan dengan khas, seperti, menarasikan dengan menggunakan sumber Belanda, menggambarkan karat di jembatan, dan perubahan warna pada jembatan tua. Ditambah lagi dengan adanya kekuatan gambar ‘foto’. Penggambaran tentang objek di suatu daerah, dalam bentuk karya tulis, mengingatkan saya pada penulis dari Turki yang pernah meraih nobel sastra ‘Orhan Pamuk’.

Dari tulisan Lukman tentang jembatan tua di Blora, seakan-akan Lukman telah berhasil melukiskan dengan kata, sebuah jembatan tua yang ada di Blora itu. Lukman berhak selebrasi dengan mengangkat kedua tangannya dan mengacungkan dua jari telunjuk kanan dan kiri ke udara, karena berhasil melukiskan jembatan tua dengan gaya bahasa yang khas dan mengamini prinsip Orwell, less is more.

Seperti gaya selebrasi pemain Argentia, Lionel Messi. Dan tidak lupa pandangan ke cakrawala. Sebagai wujud rasa syukur karena berhasil membuat jaring gawang lawan bergetar dan mencetak angka. Dari selebrasi Lionel Messi, ada unsur-unsur lain dalam sepakbola. Salah satunya unsur spiritualitas.

Namun yang lebih menarik dari selebrasi Lionel Messi adalah tulisan penggemarnya. Siapa lagi kalau bukan pemuda berkacamata plus pemikir dari tlatah Dander, Lukman. Dia pernah menulis tentang sepak bola di blog pribadinya. Saya lupa, judulnya apa. Yang teringat tentang tulisan Lukman adalah orang-orang kidal di lapangan hijau. Seniman kiri lapangan. Lukman menghubungkan dengan unsur mazhab kiri, yang terkandung unsur filosofi di dalamnya.

Lukman melukiskan dengan kata, bagaimana andalan timnas Wales ‘Gareth Bale’ dengan kecepatan tinggi dengan rambut belakang dikuncir melewati lawannya. Messi dengan gaya tango menari-nari di atas lapangan hijau bersama si kulit bundar. Dan beberapa gaya bermain seniman kiri lapangan hijau yang lain kemudian Lukman juga memasukan nama-nama seniman organisasi kiri dan pemikirnya, seperti, Karl Marx, Alimin, Musso, Sutan Ibrahim alias Tan Malaka, dan Dipa Nusantara Aidit.  

Kata “kiri” itu biasa saja. Tidak ada yang seksi, apalagi bicara kekiri-kirian untuk menggaet hati junior, bukan sama sekali. Kiri juga bukan ateis atau anti tuhan. Kiri dan ateis adalah dua kata yang berbeda jauh. Kiri ya kiri, kalau ateis terbentuk dari dua kata, a yang berarti tidak dan theo yang berarti Tuhan. Beda jauh, kan? Kiri juga belum tentu komunis.

Karena rezim otoriter di bawah komando the smilling general yang merupakan pimpinan negara terkorup di dunia, kiri kehilangan progresifitasnya dan makna “kiri” seakan-akan sangat menyeramkan, lebih seram dari genderuwo, pocong, kuntilanak, dan kawan-kawanya. Karena rezim otoriter Orde Baru, membrangusnya tidak pakai cinta, puisi, atau gagasan yang benar-benar bisa dibuktikan keilmiahannya. “Lha maene langsung bedil, cah....ajur jum..jum…”. Jadilah, kiri, seakan-akan menyeramkan, anti tuhan, biadab, dan stigma buruk yang lain.

Namun untuk saat ini, saya tidak akan membahas lebih dalam tentang Orde Baru. Kembali ke sepak bola. Pada waktu Soekarno, dimana partai yang berlambang palu dan arit atau Partai Komunis Indonesia (PKI) masih ada, terdapat pesta olahraga yang khas. Bukan Asian Games, SEA Games, maupun games-games yang lain.

Namanya adalah GANEFO. Meminjam istilah Muhidin M. Dahlan, GANEFO adalah pesta olahraga “kiri” yang pernah dihelat di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa olahraga, misal sepak bola, bukan hanya sekadar adu fisik, permainan skor, maupun mafia, lebih dari itu, dalam sepak bola juga ada unsur filosofi kemudian di dalamnya ada ekonomi, politik, seni, budaya, keadilan gender, dan lain-lain.

Tulisan Lukman di blog pribadinya tentang sepak bola kiri, ditulis menjelang gelaran akbar pesta olahgara empat tahunan, FIFA World Cup 2018. Kompetisi dihelat di Negeri Beruang Merah ‘Rusia’. Apakah semua orang Rusia itu kiri? Tidak. Negara yang dulunya bernama Uni Soviet tersebut bukan hanya dihuni oleh olahragawan kiri, seniman organisasi kiri, dan kiri-kiri yang lain.

Karena pada masa lampau, Rusia merupakan tanah tempat kelahiran beberapa pejuang agama (Islam) dan kekasih Allah Swt. Seperti ahli hadis Imam Bukhari, berasal dari Bukhara. Merupakan kota yang berada di bagian tengah Republik Uzbekistan.

Uzbekistan pernah menjadi bagian dari Union Soviet Socialist Republic (USSR) atau Uni Soviet, dengan nama Republik Sosialis Soviet (RSS) Uzbekistan. Selain Imam Bukhari, tanah Rusia juga tidak jauh dari tanah kelahiran Syekh Ibrahim Asmaraqandi yang berjuang plus berdakwah di wilayah Tuban, Jawa Timur. Syekh Ibrahim Asmaraqandi berasal dari daerah Samarkand. Yang juga merupakan bagian dari negara Uzbekistan.

Pada malam hari (01/07) Lukman menelpon saya. Kalau pada hari-hari sebelumnya, Lukman berwujud aksara/tulisan dan foto. Pada malam itu, ia menjelma menjadi foto dan suara. Menambah semangat untuk menulis artikel ini. Selain tulisan Sindhunata, Zen RS, ada tulisan Lukman yang membakar semangat untuk mendalami lagi tentang sepak bola.

Bukan sebagai pemain. Melainkan sebagai pengamat sepak bola. Ditambah lagi, pada tahun 2022 ini, akan dihelat FIFA World Cup di Qatar. Hipotesis saya, Lukman akan menjagokan tim dengan filosofi sepak bola tango yang akan dimainkan oleh Lionel Messi, Angel Di Maria, Paulo Dybala, dan kawan-kawan. Kiai Ali Maksum (Krapyak, Yogyakarta) juga suka dengan gaya permainan timnas Argentina. Cerita yang masyhur di kalangan kawan-kawan Krapyak, kalau ada timnas Argentina berlaga, Kiai Ali tidak akan ngaji dalam tempo yang lama. Bukan berarti meliburkan ngaji. Ngaji dulu, setelah ngaji baru nonton timnas Argentina. Orang-orang pesantren memiliki kedekatan dengan sepak bola, apalagi el comandante Gus Dur.

Gus Dur pernah menjelma sebagai pelatih saat menjabat sebagai presiden RI ke-empat. Dia memilih beberapa menteri untuk menjadi pemain di bawah racikan Gus Dur. Sial, racikan Gus Dur untuk Republik Indonesia tidak bisa berlangsung dalam waktu yang lama.   

Kembali ke Argentina. Kepiawaian timnas Argentina dalam berkompetisi, baik di lingkup Amerika maupun dunia tidak usah diragukan lagi. Dibuktikan dengan raihan piala timnas Argentina. Kalau saya, lebih menyukai permainan timnas tempat kelahiran pemikir hukum kritis ‘Roberto M. Unger’ yaitu Brazil dengan gaya bermain jogo bonito. Sayyid Hassan Nasrallah juga penggemar timnas Brazil. Pada tahun ini, tarian samba akan disajikan oleh Neymar, Anthony, Vini Jr, Lucas Paqueta, dan kawan-kawan.

Asia, Afrika, dan Amerika Latin merupakan benua yang pernah memiliki hubungan ideologis (sosialisme) yang dekat dengan Indonesia. Apalagi saat Presiden yang pernah berkunjung ke Bojonegoro ‘Soekarno’ masih menjabat sebagai presiden. Jika di Asia ada Bung Karno, Afrika ada Kwame Nkrumah, di Amerika Latin ada dokter dari Argentina yang terlibat dalam revolusi di Kuba ‘Che Guevara’ (pemain legendaries Argentina Diego Maradona juga mengidolakan Che Guevara). Selain itu, Indonesia juga mempelopori Gerakan Non Blok (GNB) bersama India, Mesir, Ghana, dan Yugoslavia (bagian dari Uni Soviet).  

Gerakan Soekarno pada masa itu, berbanding terbalik dengan sepak bola Indonesia pada masa sekarang. Namun ada pendar cahaya, timnas Indonesia di bawah asuhan pelatih yang pernah sukses mengalahkan ‘Der Panzer/Jerman’ dari Korea Selatan, Shin Tae Yong.

Jika Argentina mempunyai tango, Brazil dengan jogo bonito, dan Italia dengan catenassio, lantas, bagaimana dengan sepak bola Indonesia, apakah Indonesia dengan oligarkio? Mungkin, cukup sekain tulisan kali ini. Semoga timnas Brazil di Piala Dunia 2022 bisa menari samba di lapangan hijau dengan iringan lagu Balada Boa dan Danza Kuduro, tidak mengalami kekalahan memalukan lagi seperti kekalahan yang memalukan saat bertemu dengan Jerman hingga kebobolan tujuh gol dalam gelaran piala dunia. Dan, saya tidak tahu, apakah pemuda yang sedang merintis borjuasi klenik alias Lukman akan menjagokan timans Argentina dengan kekuatan juru selamat, Lionel Messi?