Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Bawah Langit Dzulqadah, Di Atas Puncak Sikunir yang Indah

 

Di Puncak Sikunir pada Kamis, 9 Juni 2022
(Foto: karya Yusuf Priambodo)

Untuk mencapai keinginan selain mempertebal angan harus memperkuat usaha dan do’a yang beriringan.


Bisa menikmati pagi di Puncak Sikunir merupakan nikmat luar biasa. Karena saya tumbuh dan berkembang bukan di dataran tinggi atau pegunungan, melainkan di sekitar bengawan dengan budaya lisan yang tinggi.

Budaya lisan itu adalah omongan tetangga yang hobi ngerumpi atau rasan-rasan. Itu bukan hal yang sepenuhnya negatif, saya ambil yang positifnya saja yaitu budaya bercerita. Saya tumbuh dan berkembang di tengah story teller kelas wahid orang-orang desa yang sekarang membuat saya tertawa.

Pemandangan di sekitar Puncak Sikunir
(Sumber: dokumen pribadi)

Sejak kecil, saya sering melihat orang-orang yang membicarakan tetangganya. Dari yang berlangsung aman-aman saja, hingga sesekali adu mulut dengan intensitas tinggi. Sebagai rasa syukur, saya akan mengabadikan kisah mereka, entah kapan. Pembacot ulung dengan mantra ulo dumong sebagai lingua franca alias bahasa pemersatu, idu basin dan mulut tetangga yang berirama, seperti martir yang akan mengguncang desa. Guncangan dari desa untuk dunia.  

Di sebuah dusun di kota kecil dengan pendapatan daerah yang besar, namun rakyatnya masih kecil. Di daerah penghasil minyak bumi, kawasan industri, dan budaya lisan yang tinggi. Merekam setiap aktivitas, dari matahari terbit hingga terbenam. Membentuk kisah yang berbeda dengan kisah-kisah lain.

Sebuah gunung di Jawa Tengah
(Sumber: dokumen pribadi)


Gunung. Di waktu kecil, kenangan tentang gunung, hanya sebatas tulisan di atas kertas. Mendengar lewat pengajaran guru mata pelajaran IPS dan geografi. Selain itu, melihat gambaran gunung dari televisi. Teringat waktu duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI), saya menonton televisi di rumah tetangga hingga larut malam. Tayangan berkisah tentang penunggu Gunung Galunggung. Bulu kuduk berdiri, hingga tidak berani pulang ke rumah.

Imajinasi tentang gunung, yang saya alami, seiring bertambahnya usia juga bertambah khasanah tentang gunung secara umum maupun vulkanologi secara khusus. Bukan hanya dari dua gambar gunung kemudian di tengahnya ada matahari terbit, mitos yang membuat bulu kuduk merinding, melainkan pandangan sastrawan yang turut serta memperkaya khasanah pandangan saya tentang gunung. Membuat gunung bukan hanya sekadar paku bumi dengan berjuta kisah mistis yang menyelimuti, melainkan juga ada sisi manusiawi dan alami.

Diperkaya juga dengan pandangan pendiri MAPALA Universitas Indonesia (UI) sekaligus aktivis berkebangsaan Indonesia ‘Soe Hok Gie’. Gie dekat dengan alam. Sosok pendaki gunung yang berbeda dengan pendaki lainnya. Gie mendaki bukan hanya sekadar mencari hiburan, melainkan ada dimensi spiritual. Gie mencari tempat yang tenang, berdamai dengan alam, dan menuliskan isi pikiran. Lahirlah karya tulis Gie tentang gunung, salah satunya puisi. Dan nama Gie abadi di Gunung Semeru dan gunung-gunung lain yang pernah ia kunjungi.  

***

Puncak Sikunir. Ada rentetan proses menuju Puncak Sikunir. Saya ke sana bukan karena ingin mendaki, bukan juga menulis puisi, apalagi untuk kebutuhan instastori. Proses diawali dari Kota Soto ‘Lamongan’. Di sebuah rumah yang berdiri di area perumahan. Rumah bercat putih, di bagian ruang tamu ada gambar ulama’ progresif dari Mesir bersama kitab-kitabnya, Syekh Yusri.

Panorama alam dan buatan di sekitar Puncak Sikunir
(Sumber: dokumen pribadi)

Momen bulan Ramadhan, saya ngaji sebentar di Lamongan. Setelah ngaji dan diskusi tentang hukum-hukum Islam dalam Fathul Qorib bersama kiai dan kawan-kawan, saya membuka laptop kemudian menulis sebuah esai tentang Indonesia Baru. Saya mencoba melihat pemikiran Soekarno tentang Sosialisme Indonesia, begawan reforma agraria ‘Gunawan Wiradi’, dan lain-lain. Juga melukiskan dengan kata-kata, Indonesia yang berada di kungkungan oligarki ini, dan bagaimana Indonesia kedepan?

Dalam tempo lama, bergulat di depan layar laptop. Hingga dini hari. Suasana yang tenang, sesekali ada bunyi jangkrik, “krik..krik..krik…krik”, mendukung proses kreatif menyelesaikan sebuah esai. Istirahat sejenak, kumandang suara, “sahur…sahur…sahur…sahur..” menggema di langit Lamongan dan sekitarnya. Saya tidak berpikir lebih jauh tentang esai tersebut, bisa mengirim esai, melengkapinya dengan daftar riwayat hidup, dan alasan ketertarikan mengikuti program, sudah cukup.

***

Hari demi hari berlalu. Proses demi proses berjalan. Dari seleksi administrasi, wawancara dan diskusi santai, hingga menerima e-mail sekaligus undangan untuk mengikuti kegiatan di Wonosobo, Jawa Tengah. Menjadi bagian dari keluarga “Koperasi Indonesia Baru”. Koperasi konten yang dikelola secara kolektif di Indonesia yang berbasis di Wonosobo.

Sebuah Gapura di Dieng Kulon
(Sumber: dokumen pribadi)

Sebelum itu, ada beberapa agenda yang telah disiapkan kawan-kawan tim “Ekspedisi Indonesia Baru”. Salah satunya bermalam di tepi Danau Cebong. Sembari menikmati makanan ringan, makan malam, api unggun, dan air hangat, diskusi menambah hidup suasana pada malam itu.

Di tengah diskusi santai, ada kawan yang kedinginan hingga mengalami hipotermia. Kawan-kawan dengan sigap membawa kawan yang hipotermia ke dalam mobil kemudian diantar ke rumah yang sekaligus menjadi base camp di Dieng Kulon.

Suasana malam di sekitar Danau Cebong
(Sumber: dokumen pribadi)

Diskusi santai masih berlanjut. Ditemani dengan tebalnya kabut, dinginnya malam, dan ikan-ikan di danau. Kopi yang panas mampu ditaklukan hawa dingin yang menyergap. Kebiasaan ngopi di Bojonegoro dengan lepek tidak berlaku di area Dieng. Kopi yang panas, ibarat air biasa. Karena hawa dingin mengalahkan panasnya kopi.

Saya yang tumbuh, berkembang, dan beraktivitas di daerah yang panas, minum kopi di Dieng, membuat kulit bibir pecah-pecah. Namun pecahnya kulit bibir, tidak sebanding dengan pengalaman ngangsu kaweruh alias belajar bersama kawan-kawan di Wonosobo pada malam itu.

Malam semakin larut. Kawan-kawan bergegas masuk tenda. Udara dingin semakin menyergap. Rintik hujan seakan mengucapkan “selamat datang”. Udara dingin yang berhembus, bak udara di kota-kota di benua biru pada saat musim dingin, seperti, Munchen, Amsterdam, Moscow, Leiden, Utrecht, dan lain-lain.

Berkat pengalaman kelana, membuat tubuh saya bisa dibilang adaptif. Udara dingin yang merangsak masuk melalui cela-cela pakaian dan celana, saya hiraukan begitu saja. Sesekali embun yang menggantung di daun, jatuh mengenai pipi. Saya bertanya kepada kawan tentang waktu. Dini hari tiba.

Saya bukan anak gunung. Dan tidak sering mendaki. Bermalam di tepi Danau Cebong pada malam itu, membangkitkan kenangan bermalam bersama kawan-kawan di Bukit Luhur, Jawa Barat. Yang dikelilingi perkebunan teh. Kalau di tepi Danau Cebong dikelilingi oleh hawa dingin dan angan-angan yang membuat sulit mata terpejam.

Saya tidak bisa tidur. Kawan-kawan saya tidur nyenyak. Karena sudah terbiasa dan sering ngecamp di area gunung. Saya menggunakan sleeping bag saja kesulitan. Apalagi mendirikan tenda sendirian. Namun, dikutip dari esai Farid Gaban bertajuk Gie dan Gunung, ada kutipan menarik dari Walter Whitman (penyair Amerika), “Rahasia menjadi manusia paripurna adalah tumbuh menghirup udara bebas, makan dan tidur beralaskan bumi”.

Saya mengamini kalimat dari Walter Whitman, untuk menjadi manusia paripurna, tidak berada di dalam tenda. Karena selain menjadi pelindung, tenda juga menjadi penghambat untuk menghirup udara bebas. Saya mengenakan jaket dan sarung, ditambah sleeping bag yang saya pakai seperti selimut, dan sebuah alas untuk melindungi tubuh dari embun yang bersemayam di rerumputan.


Embun di rerumputan pada malam hari di sekitar Danau Cebong
(Sumber: dokumen pribadi)

Harus senantiasa hati-hati, ketika menginjakkan kaki di tempat baru. Kalau di Danau Cebong, jangan tidur terlalu menepi, karena bisa jatuh ke danau, atau ke jalan. Karena posisi bermalam pada waktu itu, tanahnya lebih tinggi dari jalan. Kalau tidak hati-hati dan tidur terlalu nyenyak, awas! Bisa nggelundung!

***

Malam, dini hari, dan pagi yang dingin telah berlalu. Dari kabut yang mendekap, menjauh. Kerlap-kerlip permukiman yang tersaji di perairan Danau Cebong semakin mempercantik panorama Danau Cebong. Saya tidak benar-benar tidur. Kalau istilah Jawanya, sedang hawat-hawat turu atau bahasa Jonegoroan (Bojonegoro), “Etok-etok turu”.

Karena dalam pikiran, kapan lagi? Saya bisa tidur di alam bebas di tengah belaian angin malam bersama kawan-kawan. Didekap embun yang dingin, disapa sisa-sisa air hujan yang menggantung di dedaunan. Saya mencoba menghadap ke langit. Menyaksikan indahnya cakrawala. Membangkitkan memorabilia tentang anak-anak nelayan yang digambarkan novelis Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi 2 atau Edensor.

Rasi bintang di langit, memberi pertanda, hanya segelintir orang ‘sok modern’ yang bisa menerjemahkannya. Teringat kalimat dari leluhur Jawa ihwal alam merupakan guru sejati. Alam merupakan laboratorium kehidupan, tempat belajar, tanpa sekat, tanpa kelas. Berbahagia dan beruntunglah bagi orang-orang yang tidak berhenti belajar, wa bil khusus belajar dari alam raya.

Mengamati panorama alam dan buatan dari Puncak Sikunir
(Sumber: dokumen pribadi)

Jika belajar dari alam raya, maka ilmu dan pengetahuan lebih mendalam. Namun perlu dibedakan kalau ilmu agama. Karena saya haqqul yaqin, belajar ilmu agama yang mendalam, harus dengan bimbingan seorang yang benar-benar menguasai ilmu agama. Entah itu, kiai, ustadz, buya, ajengan, datuk, tuan guru, dan lain-lain.

Kecuali orang-orang tertentu yang memang digariskan Tuhan untuk bisa dekat dengannya dengan ‘cara lain’. Orang-orang kekasih Tuhan, dengan ‘cara lain’ ini, juga melalui tahapan belajar yang sungguh-sungguh, bukan ujug-ujug jadi pendakwah. 

Kalau ilmu dan pengetahuan secara umum, misal filsafat, yang menuntut orang bukan menjadi ateis, melainkan lebih bijaksana, bisa belajar dari alam. Atau ingin mengetahui tumbuh dan kembang ikan cupang, itu bisa belajar dari alam. Belajar mengenai tumbuh dan kembang serangga di tanaman, itu bisa belajar dari alam.

Dan tentunya, belajar untuk membuat puisi yang bisa menaklukan hati pembaca, atau membuat pembaca meneteskan air mata, bisa juga belajar dari alam. Alam di sini berarti pengalaman. Di mana ada suatu alam, di situ terkandung suatu pengalaman. Pengalaman berkesan, putus cinta, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, bisa dijadikan puisi.

Area perkebunan di dataran tinggi Dieng
(Sumber: dokumen pribadi)

Dikutip dari Toto ‘Lawen’ Rahardjo dalam Sekolah Biasa Saja, ada kutipan menarik dari filsuf China ‘Confusius’, “Saya dengar saya lupa, saya lihat saya ingat, saya lakukan saya paham, saya temukan saya kuasai”. Bersyukur kepada Tuhan, yang telah menciptakan alam ini, perwujudan syukur bukan hanya sekadar pasrah apabila ada pembangunan yang membrangus hutan dan pembangunan bendungan yang menghilangkan tradisi dan budaya plus mencerabut akar sejarah dari perkampungan.

Perwujudan rasa syukur kepada Tuhan terhadap alam, bisa dilakukan dengan membela dan mempertahankan kelestarian lingkungan dan bersikap kritis terhadap penguasa yang masih berada dalam pengaruh oligarki yang gemar menggusur permukiman warga negara dan membangun proyek “pembangunan semu”.

***

Pagi tiba. Saya dan dua kawan bangkit dari tidur. Merapikan sleeping bag dan bersiap menuju Sikunir. Sepanjang perjalanan menuju Sikunir, obrolan berbagai hal menyelimuti. Tentang film, buku, dan sesekali tentang cinta. Hawa dingin, bukit, dan kebun kentang menjadi pengindah suasana.

Pagi di sekitar Danau Cebong
(Sumber: dokumen pribadi)

Tenda, orang-orang yang ngopi, mobil jeep, dan musala yang sepi, kami lewati. Badan terasa capek, karena kurang tidur dengan nyenyak, namun tak apalah, sebagai pegiat sekaligus penghayat dari Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah (kumpulan orang-orang yang memaknai insomnia dengan bahagia), bangun pagi kemudian beraktivitas merupakan suatu hal yang istimewa.

Meskipun kurang tidur, badang sempoyongan, dan ingin merabahkan badan di tempat yang kondusif, namun keinginan untuk mensyukuri nikmat Tuhan berupa terbitnya mentari, saya usahakan.

Jalan nanjak. Sepanjang perjalanan semerbak bau “tongseng kentang” yang terbuat dari kentang dengan baluran bumbu kecap, membuat perut menghelat konser rock mini. Saya teruskan perjalanan. Sepanjang perjalanan menuju puncak Sikunir, ada penjual makanan khas lain yaitu olahan carica. Awal mendengar kata “carica” langsung terbayang pepaya. Karena dalam bahasa latin, pepaya memiliki nama latin Carica papaya.

Bedanya, kalau di Bojonegoro, pohon pepaya bisa tumbuh dan berkembang dengan tinggi hingga menghasilkan buah berwarna orange dan manis ketika matang. Di dataran tinggi Dieng, terdapat pepaya dengan spesies atau jenis berbeda. Kalau istilah Jawanya, “Kates seng mengkeret” itu perumpamaan yang mudah untuk menggambarkan carica. Beda lagi kalau di Sunda, ya? Pepaya itu gedang, kalau di Jawa, gedang adalah pisang. Di bahasa Sunda, pisang adalah cau.

Buah carica dalam proses pengolahan
(Sumber: dokumen pribadi)

Hasil olahan carica menjadi pemandangan menuju puncak Sikunir. Setelah beberapa anak tangga terlewati, naik agak tinggi lagi, di sebuah pos yang ada musala dan toiletnya saya izin berhenti terlebih dahulu kepada dua kawan saya. “Silakan, kalian melanjutkan perjalanan terlebih dahulu, saya izin istirahat di musala”. “Oke”, jawab dua kawan saya.

Niat yang utama untuk tidak menyepelekan ciptaan Tuhan untuk menyaksikan keindahan “Sang Surya” pada hari itu terlaksana. Kewajiban itu telah sirna, karena pada waktu pagi saya bisa melihat dan merasakan pancaran sinar Sang Surya secara langsung dan pemandangan gunung lain plus suasana pedesaan dari dataran yang lebih tinggi, “Alhamdulillah…, gumam dalam hati”. Karena, terkadang saya menyepelekan terbitnya Sang Surya dan terkadang juga ingin menghambatnya, namun untuk saat itu, “Alhamdulillah”, bisa melihat Sang Surya terbit dan merasakan pancaran sinarnya.

Namun badan semakin sempoyongan, badan panas, mata sayup-sayup memandang, dan jantung dalam bagian dada terasa berdetak kencang. Apa mungkin ini pengaruh beberapa gelas kopi yang saya nikmati pada waktu malam dalam jumlah di atas normal? Atau karena saya malas olahraga fisik, membuat jantung berdetak lebih kencang dari biasanya? Saya tidak langsung merebahkan badan di musala, ke toilet terlebih dahulu, setelah itu baru merebahkan badan di musala sembari meletakkan tangan di atas dahi (seperti gaya selebrasi khas Muhammad Ridhuan usai mencetak gol yang merupakan pemain Singapura yang pernah merumput di Arema bersama kawan duetnya ‘Super Along’ alias Nooh Alamsyah).

Foto pemandangan yang diambil dengan posisi tiduran dari sebuah musala
(Sumber: dokumen pribadi)

Posisi tangan seperti gaya selebrasi Muh. Ridhuan, dari kejauhan nampak pemandangan gunung yang indah. Setelah itu, mata saya terpejam. Orang-orang semakin ramai di sekitar pos. Ada yang berswafoto, foto berdua bersama kekasihnya, dan ada romobongan keluarga naik ke Puncak Sikunir bersama anaknya.

Ramainya orang-orang, membuat saya terbangun. Di pinggir saya, ada orang yang perutnya buncit, suara ngoroknya merdu sekali. Saya bangun, dan mengambil gambar pemandangan pagi dengan gawai. Setelah itu, saya mengamati lingkungan sekitar, “Dimanakah dua kawan saya berada?”, “Apakah dia sudah balik terlebih dahulu?” atau, “Sedang berada di Puncak Sikunir?”

Saya tidak menyusul dua kawan saya terlebih dahulu. Dan mari, tidur lagi! Kurang lebih empat puluh lima menit berlalu. Pos yang ramai menjadi sepi. Pak tua penjaga toilet entah kemana. Suara ngorok yang merdu tidak lagi terdengar. Suara alam seperti kicauan burung, makin menggema di suasana yang sepi. Saya bangkit dari tidur dan memutuskan untuk menyusul dua kawan saya yang telah lama berada di Puncak Sikunir.

Mendaki sendiri. Baru pertama kali ke Sikunir. Dengan sarung dan jaket biru tua, mungkin beberapa orang menertawakan outfit yang saya pakai. Saya tidak terlalu urusan hal ihwal pakaian. Saya melihat ke kanan dan ke kiri, mengikuti arah panah menuju Puncak Sikunir.

Tangga alami menuju Puncak Sikunir
(Sumber: dokumen pribadi)

Ragu menyelimuti untuk menuju Puncak Sikunir. Saya tetap meneruskan perjalanan. Mendaki anak tangga yang terbuat dari tanah. Menyaksikan rimbun pepohonan, nyanyian alam, dan lalu lalang orang. Setelah beberapa anak tangga terlewati, dan tibalah di tempat tujuan, Puncak Sikunir. Rasa lelah terobati.

***

Dua kawan saya ‘Ben dan Yusuf’, sudah lama berburu objek pemandangan alam dan buatan di Sikunir. Mereka juga bilang, barusan bertemu seorang teolog dan berdiskusi tentang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Di bawah lindungan bulan Dzulqadah, di atas Puncak Sikunir, saya banyak belajar dari Ben dan Yusuf wa bil khusus tentang fotografi dan videografi.

Pagi di Puncak Sikunir
(Foto: karya Yusuf Priambodo)

Mereka, dua orang yang memliki jiwa pengembara. Berpikir kritis dan kreatif, dan beberapa karya mereka wa bil khusus dalam fotografi dan videografi, tidak usah diragukan lagi. Saya mengamati dan mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Ben dan Yusuf. Tentang bagaimana mengambil objek dalam foto, mengatur pencahayaan, dan bagaimana mengambil objek untuk video hingga editing.

Di sisi lain, juga ada pendaki yang membuat vlog, sepasang kekasih yang sedang menikmati pagi di sebuah bangunan mirip pendopo kecil di area Puncak Sikunir, dan orang-orang yang memungut sampah di area Puncak Sikunir.

Panorama alam dan buatan di area Puncak Sikunir
(Sumber: dokumen pribadi)


Setelah itu, kami turun untuk kembali ke pinggir Danau Cebong. Turun lebih santai, dan sepanjang perjalanan, obrolan tentang foto, video, film, buku, dan lain-lain, menemani perjalanan kami menuju pinggir Danau Cebong. Sepanjang perjalanan teringat sebuah cuplikan lirik lagu karya Eros dan Okta dalam film Gie (2005).

Berbagi waktu dengan alam

Kau akan tahu dirimu yang sebenarnya

Hakikat manusia

 

 

 



Tulisan ini dibuat untuk sema’an di Madrasah Alternatif Guratjaga pada Kamis, 30 Juni 2022. Sampai jumpa di Maktabah Rizkiawaniyah (Y-09)!