Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah 17 Juli: Seumur Hidup Sekali

 

Ada beberapa lagu yang berkisah ihwal hari minggu. Berikut lagu tentang hari mingguku yang bertepatan pada 17 Juli.


Pohagung, 17 Juli 2022. Pagi buta, aku terlelap. Ketika mentari mulai menampakkan sinarnya, Tuhan meniupkan sukma ke ragaku (lagi). Ada hari yang harus kulalui. Terkadang, menjadi anak-anak tengah malam (meminjam istilah Salman Rushdie), pagi hari merupakan sebuah ujian yang unik. Ujian tanpa pengawas, tanpa nilai (angka), dan hanya butuh dijalani, disyukuri, dan dimaknai.

Setelah beberapa hari, seperti biasa, jadwal tidur tidak teratur. Kopi menjadi andalan. Dua cangkir kopi menjadi minuman yang bersahabat, kalau masih perlu, secangkir kopi dengan gelas kecil. Dua setengah gelas, volume cairan kopi yang masuk ke tubuh. Terkadang, di hari-hari tertentu bisa lebih.

Yang penting, harus makan nasi terlebih dahulu, baru minum kopi. Beberapa kawan ada yang merasa aneh denganku. “Habis makan kok, langsung minum kopi?” tanya kawanku dengan mata melotot dan alis mata terangkat. “Bagiku, itu hal yang biasa, karena sering saya lakukan.” Jawab kawanku, “Aih…gila bener, kau, Bung!”.

Foto perjalanan (17/07) di Cepu, Jawa Tengah

Ketika melihat gawai tertera Minggu, 17 Juli 2022. Tidak ada persiapan yang berarti untuk memeriahkan hari minggu. Mengalir bak aliran sungai Kali Sala yang tak jauh dari rumah. Sebelumnya, pada hari sabtu malam atau malam minggu, badan terasa panas, pikiran kemana-mana, dan mata terasa perih. Pertanda, harus istirhat terlebih dahulu. 

Dan sabtu malam minggu, tertidur di waktu yang masih sore. Sekitar ba’da isya, dalam khasanah anak-anak tengah malam, itu merupakan waktu yang sore. Guyonan yang berkembang di kampung, “Ojo turu sore-sore, diguyu bantal, seprei, dan kawan-kawannya.”

Itu hanya sekadar guyonan. Namun ada ibrah/pelajaran dari guyonan itu. Karena pada waktu itu tubuh sudah tidak bisa diajak kompromi, badan tergeletak di kasur. Dan disambut minggu pagi. Aku teringat, bahwa pekan tersebut merupakan pekan terakhir liburan anak-anak sekolah (umum).

Dan tanggal 18 Juli merupakan hari pertama masuk sekolah. Pagi itu, sang surya belum terlalu menampakkan sinarnya. Langit di kota, mendung, tanpa hujan. Aku bingung, “Mau apa hari ini?”

Saya putuskan untuk membuat kopi, makan hantaran jajanan pasar tradisional dalam rangka tiron (untuk slametan) dari tetangga (ada bubur dan serabi dalam balutan godong gedhang, kue pelangi, kucur, dan lain-lain), membaca beberapa halaman buku fiksi, dan memantau berita daring melalui gawai. “Oh, ya…ada beberapa dokumen yang harus saya cetak hari ini.” Setelah itu, saya panaskan mesin motor, menuju ke tempat percetakan kertas yang ada di kota, dan berkendara hingga ke daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.

Hantaran dari tetangga di minggu pagi dalam rangka selamatan (ter-teran tiron)

Ketika di tempat percetakan kertas. Aku menyaksikan beberapa perempuan sekolah menengah atas (SMA) yang mencetak kartu tanda pengenal yang berisi nama dan cita-cita. Hal itu semacam budaya turun temurun, saya juga pernah mengalami. Kegiatan menyambut tahun ajaran baru. Semacam praktek perpeloncoan, senior menampakkan ke-seniorannya, dan junior atau siswa-siswa yang baru, menampakkan kepolosannya. Namun hal itu tidak berlaku di semua sekolah.

Beberapa dokumen digital yang ada di flashdisk telah tercetak. Saya membayar ongkos jasa percetakan. Langkah kaki menuju ke arah sepeda motor. Lanjut berkendara ke arah perbatasan kota. Ragu dan bingung menyelimuti, lanjutkan perjalanan, atau balik ke rumah? Dalam pikiran terbesit kalimat itu.

Mumpung berada di hari minggu, dan tidak terlalu ada banyak kerjaan, oke, saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dari Kecamatan Bojonegoro atau yang sering disebut kota, menuju Kecamatan Dander. Sepanjang perjalanan, saya menengok ke kanan dan ke kiri. Mengendarai sepeda motor nuansanya berbeda dengan naik bus maupun naik kereta api. Lebih menyenangkan menggunakan sepeda motor, wa bil khusus bagi kawan-kawan yang suka berkendara.

Di tlatah Dander, ada pertanyaan yang terbayang dalam pikiran, “Dimanakah letak peninggalan kerajaan Majapahit?”. Motor terus melaju, menuju Kecamatan Kalitidu. Bagi kawan-kawan penikmat bola wa bil khusus PERSIBO Bojonegoro (Boromania), tidak asing dengan “X-Tidoe”.

Sewaktu kecil, saya hanya melihat tulisan “X-Tidoe” ketika The Giant Killer yang sekarang lagi tertidur “PERSIBO” berlaga di Stadion Letjen H. Soedirman. Itu menjadi ciri khas kawan-kawan dari Kalitidu untuk meramaikan PERSIBO berlaga.

Saban daerah memiliki nuansa berbeda. Dan bersyukur, akhir-akhir ini, masih ada kesempatan untuk berkendara di daerah-derah pinggiran Bojonegoro. Juga mengamati gejala planetary urban yang ada di Bojonegoro. Kalitidu, tentang pasar, perkawanan, dan jalan besar yang terkadang mematikan.

Sebuah kentongan di Langgar Menak Anggrung Pahlawan yang ada di Padangan

Menurut cerita dari seorang yang telah berumur, dulu, ketika orang-orang dari Tuban mau ke Padangan. Ketika beristirahat sejanak, rata-rata memilih singgah di daerah Kalitidu. Karena, Kalitidu merupakan daerah yang ada “kali” dan ada pepohonan besar yang “teduh”. Bukan hanya payung saja yang meneduhkan, ternyata aliran air “kali” bisa memberikan efek yang “teduh” juga.

Selain itu, Kalitidu juga menyimpan khasanah keilmuan yang tinggi “bagi orang-orang yang mau mencari”. Di sebuah tempat di Kalitidu, atau daerah-daerah lain yang ada di Kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi “Bojonegoro” akan membuat Anda memaknai ulang hal ihwal “modernitas”.

Berhenti sejenak di bagian kiri bahu jalan sembari mengabadikan momen

Jalanan yang nglenyer terkadang membuat lupa, saking nglenyer bin nggayer menciptakan bunyi “braakkk”. Harus senantiasa berhati-hati dimanapun berada, kalau istilah Jawanya, kudu eling lan waspada.

Namun tidak semua jalan Kalitidu-Padangan nglenyer. Ada beberapa titik jalan yang retak dan terbentuk gundukan. Lagi dan lagi, diperlukan kewaspadaan saat berkendara. Motor melaju dengan kecepatan yang normal. Sekitar tengah hari, ban sepeda motor yang terus berputar, menghitamkan aspal Padangan.

Di waktu masa putih abu-abu, Padangan merupakan nama yang asing di telinga. Semacam daerah yang nun jauh sana. Masa putih abu-abu, juga pernah mengendarai motor ke Padangan. Membuat karya tulis tentang bangunan cagar budaya di Padangan. Untuk pertama kalinya mendengar dan melihat nama “J.F.X. Hoery”.

Pasca putih abu-abu, aku kembali berkendara ke Padangan. Bersilaturahim ke rumah J.F.X. Hoery atau yang akrab disapa Mbah Hoery. Saya belajar kepada Mbah Hoery tentang sejarah Bojonegoro. Nuansa akan Padangan yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan keramaian di masa lampau, semakin hidup.

Selain berkendara menggunakan motor, saya juga pernah melihat Padangan dari balik kaca jendela bus kota. Khususnya ketika melakukan perjalanan menuju ke Bandung, Jakarta, maupun daerah lain. Biasanya bus akan berhenti sejenak di daerah Padangan dan Terminal Cepu. Masa-masa Padangan dari balik kaca jendela bus kota, merupakan Padangan yang “lebih hidup”.

Padangan, bukan hanya tentang tembok berhias mural seperti di sudut-sudut kota Buanos Aires yang ada di Argentina, bukan hanya tentang kenangan, melainkan denyut peradaban progresifitas ulama tumbuh dan berkembang dari Padangan.

Suasana di sekitar Langgar Menak Anggrung Pahlawan di wilayah Kecamatan Padangan

Makna “lebih hidup”, bukan sekadar makna biasa. Terbentuk dari proses yang istiqomah, melalui kawan-kawan Madrasah Alternatif Guratjaga dan tulisan-tulisan Wahyu Rizkiawan tentang Padangan. Jika berdasar cerita lisan dari orang-orang tua, Padangan merupakan daerah yang padang (bahasa Jawa) atau bahasa Indonesianya terang.

Terang yang seperti apa? Jika terang hanya dimaknai banyaknya lampu pinggir jalan, Kecamatan Bojonegoro kota, lebih terang dari Kecamatan Padangan. Terang yang bukan hanya sekadar cahaya lampu, lebih dari itu, cahaya dari keilmuan yang tumbuh dan berkembang di kawasan Padangan. Kecamatan yang pernah menjadi pusat pemerintahan Djipang itu, tersimpan jimat peradaban (meminjam istilah Wahyu Rizkiawan) berupa manuskrip. Karya tulis ulama-ulama progresif yang memaknai jihad dengan melawan imperialisme dan kapitalisme Hindia Belanda.

Saya membayangkan dan mempertanyakan, apakah ulama-ulama di Padangan merupakan ulama yang progresif semacam dituliskan Ahmed T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan? Ulama yang selain menghasilkan karya (tulis), membuat jarak dengan pemerintahan (bersifat kritis), dan berjuang bersama rakyat.

Sebuah tugu yang berada di area Kecamatan Padangan

Saya benar-benar menikmati berkendara sepeda motor pada Minggu (17/07) pada waktu itu. Ditambah lagi, suasana yang tidak terlalu panas. Menikmati berkendara dengan menggunakan motor di sepanjang jalan Padangan menuju Cepu. Ada kata dan kalimat yang tidak asing di telinga dan mata, ketika melintasi jalanan Padangan, seperti Menak Anggrung, Rowobayan, Kuncen, dan Njalakan.

Dua orang anak yang bermain dengan riang menjelang salat di Langgar Menak Anggrung Pahlawan

Pemandangan kota tua Pandangan, juga tidak lepas dari amatan. Azan zuhur menggema di langit Padangan, saya meneruskan perjalanan terlebih dahulu hingga menuju arah jembatan tua yang tidak jauh dari gapura hitam sebagai tanda wilayah.

Sampai di Kecamatan Cepu. Berkeliling di sekitar Taman Lampu. Menyaksikan bangunan gereja tua bergaya eropa yang ada di Cepu, aktivitas ekonomi warga negara di Cepu, dan lain-lain. Setelah dari Cepu, saya bergegas kembali menuju jalan ke arah Bojonegoro kota untuk pulang. Sebelum pulang, saya sempatkan singgah sejenak di Langgar Menak Anggrung Pahlawan.

Suasana di sekitar Taman Lampu Cepu (17/07)

Mengabadikan momen dengan mengambil gambar lewat kamera yang ada di gawai, mendengarkan pujian menjelang salat zuhur yang lama apabila dibandingkan dengan masjid-masjid yang ada di Bojonegoro kota. Dua orang anak yang menghidupkan langgar dengan riang dengan sesekali bermain dan bergantian pegang mic untuk pujian sebelum salat. Harum semerbak wangi di bagian tempat wudhu dan rasa getar ketika kendaraan besar melintas di sekitar Langgar Menak Anggrung Pahlawan. Namun itulah yang menjadi karakteristik Padangan dengan segala keunikannya.

Belajar bersama kawan-kawan dengan beralaskan koran dan beratap langit malam

Itulah tentang lagu hari mingguku. Menerima dan mengelola hari-hari di kehidupan dengan mengabadikan dan melukiskan dengan kata-kata fenomena alam dan sosial ciptaan Tuhan. Hari Minggu (17/07) diawali dengan bangkit dari tidur dan dimeriahkan dengan berbagai ragam aktivitas kemudian diakhiri dengan belajar bersama kawan-kawan dengan beralaskan koran dalam lindungan langit malam. Sekian!