Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menikmati Sore Bersama Secangkir Kopi dan Wingko Babat di Sekitar Beranda Rumah

 

Sore bukan tentang rembulan di atas jembatan. Bukan juga mentari di atas lumbung padi.


Anak-anak sore. Waktu yang terjadi setelah azan asar menggema di cakrawala. Ada yang dengan gagah menenteng bola kemudian memainkan bola bersama kawan-kawan di tanah lapang. Ada yang menggembol lelah setelah belajar di madrasah. Ada juga yang melepas rindu di warung kopi atau melepas rindu bersama anak setelah seharian bekerja. Pelukan yang hangat, erat, dan penuh kasih sayang.

Sore itu, waktunya penjual pentol menjual pentolnya. Burung-burung belum pulang ke rumah mereka. Anak-anak yang bermain bola di tanah lapang,  kaosnya belum basah oleh keringat keceriaan.

Ada orang yang mengetuk pintu. Saya berada di posisi antara sadar dan tidak. Orang itu menggeser pintu yang rangkanya terbuat dari kayu dan dilapisi seng. Pintu yang bisa melahirkan bunyi yang khas hingga terkadang membuat beberapa orang “ngilu” terhadap bunyi yang dihasilkan dari gesekan pintu seng dengan lantai.

Langkah kaki orang itu kemudian menuju pintu yang kedua. Pintu berwarna cokelat yang sudah berumur. Umur pintu itu, lebih tua dari saya. Kemudian orang itu meletakkan piring kaca yang berisi makanan khas Lamongan yang biasa disebut “wingko” di atas meja makan saya.

Orang itu adalah kerabat saya dari Lamongan. Biasanya dia membawakan wingko, kue rangin, pisang, dan lain-lain. Namun pada waktu itu, dia membawakan empat buah kue wingko. Setelah itu, saya menyadarkan diri dan membuat kopi.

Sore itu, saya menikmati secangkir kopi dan sebuah kue wingko. Saya menikmati sore dengan tegukan secangkir kopi dan sebuah wingko sembari menikmati kopi dan wingko dengan penuh perasaan, saya mencari dan mengumpulkan ide dengan merenung dari balik jendela kaca. 

Sembari menyaksikan anak-anak yang bermain bola di tanah lapang, anak-anak yang lalu-lalang mengikuti bimbingan belajar yang ada di belakang rumah, bakul tempe yang biasanya berucap "Pe...tempe...", dan juga menggaruk-garuk kepala ihwal apa yang akan saya lakukan dan apa yang akan saya tulis?

Ada “rasa” yang tersimpan dari balik secangkir kopi dan kue wingko. Kopi yang harum dan baunya khas. Resep membuat kopi turun-temurun dari nenek dan ibu. Dan ketika melihat kue dari Kecamatan Babat (Lamongan) “wingko”, seakan-akan bercerita mengenai memorabilia/kenangan perjalanan.

Perjalanan dari Bojonegoro menuju Surabaya, melewati kabupaten dimana wingko berasal. Jika perjalanan menggunakan kereta api, daerah asal kue wingko “Babat” hanya terlihat dari balik kaca kereta. Jika perjalanan menggunakan bus kota, akan terlihat fenomena alam dan sosial di Babat.

Babat dari balik jendela bus kota. Setelah dari daerah ujung selatan Bojonegoro ‘Baureno’ akan tiba di Babat yang merupakan bagian dari Lamongan, Jawa Timur. Setelah dari kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ‘Bojonegoro’ akan disambut bundaran replika kue wingko khas Babat.

Di sekitar Pasar Babat, banyak dijumpai penjual wingko, sego boran khas Lamongan, penjual soto Lamongan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Namun nuansa akan lebih hidup jika melintasi Babat menggunakan sepeda motor. Bisa merasakan secara langsung nuansa dari daerah asal kue wingko, dimana lagi kalau bukan di Babat, Lamongan.

Itulah tentang sore bersama secangkir kopi dan sebuah wingko Babat. Sore bukan tentang rembulan di atas jembatan. Bukan juga mentari di atas lumbung padi. Dan bukan juga tentang sebuah puisi yang terlahir ketika sore tiba. Sore yang menyenangkan, menyenangkan untuk dikenang maupun menyenangkan untuk diulang.