Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Senja Di Jakarta yang Tidak Sempurna

 


Pada suatu hari sebuah kenangan menghampiri. Kenangan yang bangkit pada waktu senja hingga dini hari menyapa. Sebuah kenangan yang tidak sempurna.

Ketika azan magrib menggema di cakrawala. Sebuah kenangan datang begitu saja, kenangan tentang Jakarta. Dalam angan, ingin bercerita ketika berziarah ke makam Pramoedya. Dalam kenyataan, saya belum bisa menemukan foto ketika berziarah ke makam Pramoedya yang ada di Karet Bivak. Maka dari itu, untuk saat ini, belum bisa menarasikannya.  

Saya berupaya mencari foto itu dalam puluhan ribu dokumen digital. Baik yang berada di smart phone maupun laptop. Saya mencari ketika senja, hingga dini hari menyapa. Sial, foto itu belum ketemu juga. Dari pada membuat pusing, saya merebahkan badan dan tertidur.

Datang seorang anak kecil, dia membangunkanku. Ketika setengah sadar itulah, imajinasi yang terbangun dari ilmu, pengetahuan, dan pengalaman tentang Jakarta terbangun. Dan sekarang, saatnya untuk menarasikan.

Numpak Kapal Medun Jakarta

Waktu kecil, amat sangat bahagia ketika menyaksikan kapal terbang bersama kawan-kawan. Di kampung halaman, saya pernah mengalami betapa senangnya berlari mengikuti mobil yang sedang berjalan, berteriak dengan keras ke angkasa ketika pesawat terbang mengudara, dan duduk bersama kawan di depan gang sembari menebak nomor plat kendaraan.

Ada tembang yang populer tentang Jakarta. Yang biasanya dilantunkan oleh kawan-kawan. Sebuah tembang tentang Jakarta, kreasi dari sebuah lagu, “Tek...kotek…kotek…kotek…., anak ayam turun berkotek, Jakarta akeh duwike, duwike satus selawe….”.

Seingat saya, di kampung halaman tempat saya tumbuh dan berkembang, tembang itu diberi tajuk, “Numpak Kapal Medun Jakarta” atau “Naik Pesawat Turun Jakarta”. Bayangan saya tentang Jakarta, karena pengaruh televisi, ibarat Jakarta adalah tempat yang bersih, ramai, aman, dan nyaman. Tempat orang-orang sukses membuat kandang.

Namun ternyata, Jakarta juga tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Mungkin perbedaannya, Jakarta adalah daerah istimewa, sedang daerah yang lain biasa. Maka ada istilah “Jakartasentris”, dimana terdapat plus dan minus dalam “Jakartasentris”.

Mimpi untuk menginjakkan kaki di Jakarta dan yang paling berkesan, baru terwujud ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Dan itu secara cuma-cuma alias gratis. Berangkat dari Stasiun Gubeng (Surabaya) bersama kawan-kawan, kemudian menuju Stasiun Pasar Senen.

Sebelum itu, ada beberapa siasat yang pernah saya coba agar bisa berkunjung ke Jakarta. Ikut rombongan ziarah yang diadakan oleh jama’ah musala. Kebetulan, jama’ah di musala menuliskan Jakarta wa bil khusus Masjid Istiqlal sebagai tujuan. Sial, siasat itu belum berhasil juga karena bentrok dengan kegiatan yang lain.

“Numpak Kapal Medun Jakarta”, biarlah menjadi senandung lagu saja. Buat penawar rindu, akselarasi cita-cita, maupun hal-hal yang lainnya. Jakarta, tidak semerdu di lagu itu. Karena orang-orang Jakarta, tidak selamanya akan menantang cakrawala ketika menginjakkan kaki di kampung halaman. Ada yang tertunduk layu, ada yang bermuka lesu, dan ada juga yang harus mengakhiri hidup ketika di Jakarta maupun saat tiba di kampung halaman.

Karena minimnya bekal dan jejaring, dan yang pasti karena “sistem” di negara yang berada di cengkraman oligarki ini, dimana lagi kalau bukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Harga Mati (harga mati untuk siapa?) itulah yang berpengaruh dalam kehidupan sosial dan budaya saat ini. Hanya berorientasi pada untung belaka, abai terhadap kebuntungan yang akan melanda warga negara.  

Jakarta dari Balik Jendela Kaca Bus Kota dan Kereta

Jakarta bukan hanya sekadar Monumen Nasional (Monas), Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang mengandung pro dan kontra pada waktu pembangunannya, Pulau Seribu, Pasar Tanah Abang, Gelora Bung Karno (GBK), Cikini, Kwitang, Tanjung Priok, Bandara Soekarno-Hatta, dan Istana Presiden saja. Lebih dari itu, Jakarta adalah wujud nyata dari pengejawantahan pembangunan yang jauh dari Pancasila dan cita-cita founding parents Indonesia.

Bagi yang tidak percaya, ya tidak apa-apa. Itu hak Anda untuk menentukan pilihan. Kehidupan di Jakarta, berbanding terbalik dengan dunia maya apalagi seluk beluk selebriti di televisi yang hanya menunjukkan mobil, sepeda motor gede, dan apartemen bintang lima.

Kalau Anda benar-benar ingin membuktikan fenomena ketimpangan sosial yang ada di Jakarta, sila, berkunjung ke Jakarta. Kalau dari Bojonegoro, bisa menggunakan bus, kereta, sepeda motor, maupun kendaraan yang lainnya.

Misalnya, kalau kawan-kawan ingin berkunjung ke Jakarta via bus dari Bojonegoro. Bisa tanya-tanya ke beberapa penjual tiket (resmi) yang ada di Terminal Rajekwesi. Perjalanan dari Bojonegoro ke Jakarta, bisa menggunakan bus Haryanto, Agra Mas, Laju Prima, Pahala Kencana, dan lain-lain.

Dari Terminal Rajekwesi biasanya bus berangkat ketika matahari tepat di atas kepala alias siang hari atau sekitar azan zuhur berkumandang di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini. Dan perjalanan dari Bojonegoro ke Jakarta, tiba sekitar azan subuh berkumandang. Bisa turun di Terminal Pulo Gebang, Kampung Rambutan, maupun di tempat yang lain.

Dari perjalanan itu, Anda bisa memotret “sisi lain” Jakarta dari balik jendela kaca bus kota. Memotret “sisi lain” Jakarta, juga bisa melalui balik jendela kaca kereta. Kalau kawan-kawan dari Bojonegoro ke Jakarta naik kereta, bisa melalui Stasiun Bojonegoro dan kereta akan mengantarkan Anda ke Jakarta. Bisa turun di Stasiun Pasar Senen, Gambir, Jatinegara, Tanah Abang, maupun stasiun-stasiun lain yang berdiri di atas tanah Jakarta.

Pada Suatu Hari di Jakarta

Di tahun 2015, Jakarta hanya tertulis dalam buku-buku dan di amplop cokelat yang bagian tepinya ada warna merah dan biru. Tiga tahun setelahnya, gambaran tentang Jakarta berwujud nyata. Jakarta bukan hanya tentang kampus Universitas Indonesia (UI) di Salemba, bukan juga tentang gedung-gedung pencakar langit, gedung besar ataupun gedung pusat suatu organisasi, dan lalu-lalang kendaraan yang sering memadati jalan.

Jakarta berkisah tentang orang-orang penjual kopi di pinggir jalan, orang-orang yang dengan tulus cum ikhlas plus kasih sayang membesarkan anaknya dengan gerobak, dan kisah-kisah tentang Si Pitung dari Betawi, tanjidor, ondel-ondel, dan karya sastra tentang Jakarta yang hanya sekadar menjadi memorabilia. 

Bagi kawan-kawan yang suka dengan karya sastra. Ketika menginjakkan kaki di Jakarta, coba bayangkan atau baca karya dari Toto Sudarto Bachtiar yang menggambarkan hal ihwal Jakarta. Ada kalimat menarik dari Toto, wa bil khusus, seperti, “Duniamu yang lebih tinggi dari Menara Katedral, melintas-lintas di atas air yang kotor,……”. Toto mencoba menggambarkan seorang gadis kecil berkaleng kecil. Seorang gadis yang tumbuh dan berkembang di Jakarta yang beraktivitas sebagai pekerja informal dalam rangka menghidupkan marga/jalan di Jakarta dan tentunya untuk menyambung nyawa. 

Yakinlah, jika kawan-kawan memiliki bekal bukan hanya materi melainkan bekal imateri (ilmu dan pengetahuan) juga, maka kawan-kawan akan bisa melihat “sisi lain” dari realitas atau kenyataan yang tersaji dimana kawan-kawan berpijak. Entah ketika berada di Bojonegoro, Jakarta, Tuban, Makassar, Ternate, Jember, Ponorogo, Lamongan, Surabaya, Semarang, Cilacap, Banda Naira, Padang, Bogor, San Tiago, Havana, Bandung, Bondowoso, Wonosobo, Probolinggo, Purbalingga, Kuala Lumpur, Kairo, Moscow, Bern, Yala, Leiden, Sabang, Barcelona, Merauke, Ciamis, Paris, Utrecht, Amsterdam, Berlin, Pangandaran, Hadramaut, Heidelberg, maupun kota-kota yang lain.

Senja di Jakarta kali ini, tidak tergambar dengan sempurna. Sayup-sayup suara azan magrib di cakrawala Jakarta belum menampakkan gemanya. Suara lonceng gereja di depan Masjid Istiqlal belum juga bergema melalui aksara. Foto-foto ketika berziarah di makam Pramoedya Ananta Toer di Karet Bivak belum ketemu juga. Semoga, pada suatu hari nanti, foto yang berkesan itu akan menampakkan dirinya sendiri dengan berbagai cara. 

Senja di Jakarta yang tidak sempurna, akan terus menuju kesempurnaan dengan caranya sendiri. Lewat tulisan ini, mencoba untuk merawat memorabilia/kenangan dengan menceritakan beberapa foto, dan tentunya sebagai ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberi warna dalam dunia kepengarangan ini, baik secara formal maupun informal.