Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Magdalena van Kaliredja

 


Hidup memang penuh misteri. Salah satunya seperti anak orang Belanda yang memilih tinggal dan menetap di negeri jajahan dan menjalin kisah cinta dengan seorang kiai.

Setelah menjalani ibadah di gereja tua yang berada di Kadipaten, Magdalena bertemu dengan seorang pastur di belakang gereja. Mereka berbincang-bincang, dari matahari tepat di atas kepala hingga menuju terbenam.

Mereka berbincang berbagai hal. Mulai dari teologi, berita di surat kabar yang terbit di Bodjanegara, hingga terjadi suatu hal yang tidak terduga. Pastur juga manusia, terkadang salah dan lupa. Karena saking asiknya ngobrol berdua, pastur mendaratkan ciuman di pipi sebelah kanan Magdalena.

Magdalena sontak kaget dengan perlakukan pastur itu. Tidak ada kata perpisahan, Magdalena langsung memalingkan muka dan bergegas mengayuh sepedahnya menuju rumahnya di Kaliredja.

Pastur merasa bersalah, dan mengusap tangannya di dada. Langsung seketika itu juga, pastur menghadap patung Bunda Maria dan menundukkan kepala seraya berdo’a dan mohon ampunan atas kesalahan yang telah diperbuat.

Sepanjang perjalanan menuju Kaliredja. Air mata membasahi pipi Magdalena. Namun angin yang berhembus membelai pipinya dan mengeringkan air matanya. Kaki Magdalena mengayuh sepeda dan melewati desa-desa di Bodjanegara. Pepohonan besar di sebalah kanan dan kiri jalan, melindungi Magdalena dari sengatan Sang Surya.

Pada saat itu, kapal-kapal besar yang melintasi Kali Sala, mampu menghambat laju sepeda Magdalena. Dia berhenti sejenak, kemudian berbalik arah menuju syahbandar atau pelabuhan yang ramai di Bodjanegara, ‘Sumbang Mentimoen’.

Magdalena tidak sendiri. Dia bersama memorabilia atau kenangan beberapa tahun silam. Saat Magdalena masih kecil untuk pertama kalinya menginjakkan kaki dan menyebut nama-nama daerah yang asing baginya, seperti, Hindia Belanda, Bodjanegara, Sumbang Mentimoen, dan lain-lain.

Namun memorabilia merupakan suatu yang semu. Butuh kerja kreatif ‘menulis’ untuk mewujudkannya dalam bentuk aksara. Setalah bapak dan ibunya, memutuskan kembali ke Belanda, namun Magdalena memilih untuk tetap tinggal di Bodjanegara.

Lalu-lalang orang memadati area Syahbandar Soembang Mentimoen. Pribumi, orang-orang Arab, Eropa, dan Tionghoa berinteraksi di Soembang Mentimoen. Mata Magdalena memandang jauh, tepat di dekat tempat kapal berhenti, terdapat rumah-rumah kecil. Ada tulisan Bordil House, dan Tuak Market.

Syahbandar, Bordil House, dan Tuak Market, bak segitiga emas. Tempat-tempat penghapusan strata sosial (sementara) yang tidak pernah tidur. Pria dan wanita hidung belang, Belanda totok maupun kacokan (campuran), londo ireng yang bekerja di djawatan, juru tulis yang berburu informasi, dan kapal-kapal yang bersandar dari Negeri Kincir Angin (Belanda), Negeri Tirai Bambu (Cina), dan Gujarat (India) menambah hidup suasana. Dari matahari terbit hingga matahari terbit lagi, syahbandar tidak pernah mati.

Azan magrib berkumandang di sebuah surau/langgar kecil yang tidak jauh dari syahbandar. Lantunan suara azan, menambah hidup irama aktivitas di syahbandar dan aliran air di Kali Sala. Magdalena kembali mengayuh sepeda untuk menuju Kaliredja.

Magdalena melalui jembatan Kaliketek, Halte, pemakaman umum, dan pasar hewan atau Cattle Market. Suasana magrib di sekitar Kaliredja tidak seramai di Bodjanegara bagian kota. Temaram lampu jalan, kabut asap yang dihasilkan dari orang bakar sampah di pinggir jalan, menjadi teman perjalanan Magdalena menuju rumahnya.

“Kring…kring,” Magdalena membunyikan bel sepeda. Rumah tampak sepi, pagar kayu tertutup. Kemudian, Nyai Irah bergegas membuka pintu rumah dan segera membuka pagar kayu.

“Dari mana, Den Ayu? Kok baru pulang? Bukannya kegiatan di gereja tidak sampai malam begini? Bikin cemas orang-orang di rumah saja”. Tanya Nyai Irah kepada Magdalena.

“Iya, Ni. Tadi Magdalena main ke Syahbandar dulu, hehe.”

“Oalah…Mbok yo bilang dulu to, sebelum pamitan, biar orang-orang di rumah ini tidak cemas.”

“Iya, Ni. Sorry.”

Magdalena meletakkan sepeda, kemudian duduk di gek atau kursi kayu yang berada di depan rumah. Menghela napas panjang, dan seakan ia berada dalam mimpi, dan tidak percaya setelah mengalami peristiwa di belakang gereja tadi. Magdalena duduk di temani Nyi Irah.

Nyi Irah, dulunya merupakan pembantu papah dan mamah dari Magdalena. Nyi Irah memiliki suami bernama Kiai Sumitro Joyohadikusumo. Papah dan mamah Magdalena memberi pekerjaan kepada Nyi Irah dan Kiai Sumitro untuk membantu beberapa urusan rumah tangga. Dulunya, mereka orang yang tidak punya apa-apa, namun setelah mamah, papah, dan Joyo van Dijk (anak pertama atau kakak kandung dari Magdalena) memutuskan hijrah kembali ke tanah airnya ‘Belanda’, semua harta benda dan kepengasuhan Magdalena diberikan kepada Nyi Irah dan Kiai Sumitro.

Kondisi sosial dan budaya tempat tumbuh dan berkembang, memberikan pengaruh yang berarti. Dulu, Nyi Irah dan Kiai Sumitro merupakan penganut kejawen. Namun, setelah sekian lama tinggal bersama keluarga Magdalena, mereka menganut kepercayaan Kristen, dengan tidak menghilangkan sepenuhnya kepercayaan kejawen.

Penduduk sekitar, memanggil Kiai dan Nyai, karena ketinggian ilmu, pengalaman, dan pengamalan nilai-nilai spiritual. Terkadang, Kiai Sumitro juga memimpin upacara gereja di beberapa pedesaan dekat Kaliredja, seperti di daerah yang terkenal dengan rawa-rawa yaitu Ngrawa Redja (dekat dengan Cattle Market dan Halte).

Kiai Sumitro dan Nyai Irah menjadi bapak dan ibu angkat dari Magdalena. Dia tidak ikut kembali ke tanah air ‘Belanda’ karena merasa iba dengan penduduk pribumi yang beberapa kali bahkan sering menjadi korban politik adu domba atau devide at impera ala nenek moyangnya, siapa lagi kalau bukan kolonialis Hindia Belanda.

Dalam sanubari Magdalena, setidaknya dia tinggal dan berbuat baik di Bodjanegara untuk meminimalisir dosa-dosa nenek moyangnya. Magdalena memiliki pandangan yang berbeda dengan keluarganya. Kalau keluarganya menganggap Pangeran Dipanegara sebagai pengkhianat dan pemberontak, maka Magdalena beranggapan bahwa Pangeran Dipanegara adalah pahlawan.

Bagi keluarga Magdalena wa bil khusus mamah, papah, dan kakaknya, buku bertajuk Max Havelaar adalah buku rekayasa dan terlarang untuk dibaca, namun bagi Magdalena buku Max Havelaar harus dibaca oleh semua anak manusia. Agar tidak bertindak sewenang-wenang dengan manusia lainnya.

Jika bagi keluarga Magdalena, suara azan yang berkumandang ketika salat akan tiba ibarat suara nyamuk yang berisik dan mengganggu aktivitas, bagi Magdalena suara azan merupakan suara biasa yang tidak jauh berbeda dengan lagu-lagu spiritual yang biasanya berkumandang di gereja.

Pandangan Magdalena dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan pergumulan pemikiran dengan beberapa oraganisasi dan sarekat kedaerahan yang ada di Bodjanegara. Keluasan wawasan dan cakrawala, membuat Magdalena tumbuh dan berkembang menjadi perempuan muda yang memiliki rasa toleransi dan kemanusiaan yang tinggi.

Setelah menghabiskan waktu di depan rumah. Magdalena tidak lupa untuk membaca surat kabar ‘Suara Harian Rakjat’, menulis surat hal ihwal pandangan ekonomi-politiknya khususnya tentang fenomena sosial dan politik yang terjadi di Bodjanegara untuk kawannya Tio yang berdomisili di wilayah pecinan Karangpatjar, Melati yang berdomisili di Ledok dekat dengan pasar kota dan Hotel Bodjanegara, dan Abdul Gafar Sulaiman yang berdomisili di wilayah Kauman yang dekat dengan taman kota, masjid agung, dan pekojan.

Sesekali kenangan buruk di belakang gereja tua yang disaksikan oleh burung-burung gereja terlintas di kepala Magdalena. Dia mencoba menghilangkannya dengan terus menulis, dan terkadang mencoba untuk bermain fokus dengan lampu ublik.

Semakin dia ingin menghilangkan kenangan itu, semakin tumbuh dan berkembang. Tidak ada cara lain selain, membiarkannya dan tetap terus berkarya. Magdalena sedang menyelesaikan sebuah tulisan tentang pembangunan bendungan di Kali Pacal yang berada di area hutan di Temajang.

Akses untuk mencari informasi hal ihwal djawatan di Bodjanegara, bagi Magdalena tidak sesulit mewujudkan cita-cita ziarah ke tanah suci yang berada di Roma, karena Kiai Sumitro juga merupakan seorang jogo tirto khusus di wilayah Kaliredja.

Magdalena mengkritik habis-habisan tentang permainan licik dari kolonialis Hindia Belanda tentang upah yang kurang layak untuk pekerja pribumi, diperparah lagi dengan permainan nguntit uang yang dilakukan oleh londo ireng, dan kerusakan lingkungan yang akan mengancam wilayah hutan di Temajang yang kaya akan peninggalan masa pra sejarah dari Bodjanegara.

Magdalena harus menyelesaikan tulisan yang akan dia kirim ke ‘Suara Harian Rakjat’ pada pekan ini. Karena pada pekan depan, dia bersama Melati akan pergi ke Lasem (wilayah Karesidenan Rembang) untuk berkunjung (observasi) ke beberapa daerah lokalisasi yang dekat dengan syahbandar sekaligus juga rekreasi.

Pekan untuk berkunjung ke Lasem tiba. Di waktu pagi yang masih dini, Melati sudah membunyikan bel sepeda tepat di depan pagar kayu rumah Magdalena. Setelah azan subuh berkumandang, Melati memberanikan diri menerobos pekatnya kabut yang tersusun dari embun yang menutupi beberapa objek di Kota Bodjanegara.

Meskipun kabut menutupi beberapa objek di Bodjanegara bagian kota, namun tidak mematahkan semangat orang-orang Kauman dan sekitarnya untuk pergi ke masjid kota menghadap Sang Pencipta, dan penjual sayur, ikan asin, penjual dan pembeli yang lain dengan semangat juang tinggi sudah memenuhi dan menghidupkan pasar kota yang dekat dengan pusat pemerintahan Bodjanegara.

Tiba di Kaliredja dan persiapan menuju Halte yang dekat dengan Cattle Market. “Goede morgen, Magdalena”, ucap Melati. “Selamat pagi juga, Melati”. Kemudian datang Nyi Irah dengan uborampe makanan khas desa dengan teh hangat. Seperti polo pendhem, kuo moho, golang-galing, dan lain-lain. “Monggo…dimakan, kuenya” ucap Nyi Irah. “Iya, Ni”, jawab Melati.

“Tulisanmu untuk surat kabar tentang pembangunan bendungan di Kali Pacal, sudah selesai?” Tanya melati kepada Magdalena setelah minum teh hangat buatan Nyi Irah.

“Sudah. Apabila kita bersungguh-sungguh, alam raya juga ikut mendukung.” Jawab Magdalena dengan raut senyum menghiasi wajahnya.

“Good job, Magdalena.”

“Ya. I terbantu dengan arsip-arsip papah yang tertinggal di lemari. Disana juga ada foto-foto beserta catatan singkat tentang daerah Temajang. And my brother, take many pictures about Temajang. Saya melatakkan beberapa gambar untuk mempercantik karya tulis.”

“Wow…it’s, great.”

“Danke. Saya percaya dengan kalimat mutiara bahasa Belanda, werk hard in stilte, laat uw success uw lawaai zijn.”

“What is the meaning?”

“Bekerja keraslah dalam diam, biarkan kesuksesanmu yang menjadi bisingmu.”

“Terima kasih, Magdalena, atas kalimat mutiara itu.”

“Sami-sami.”

Kemudian Magdalena bergegas mandi. Dan Melati menikmati teh hangat dan beberapa jajanan desa yang tersaji di meja. Setalah selesai mandi dan berhias, Magdalena mengajak Melati untuk segera menuju ke Halte. “Mari…, menuju ke Halte untuk naik kereta api.” Ajak Magdalena. “Ayo…”. Jawab Melati dengan semangat tinggi.

Melati dan Magdalena menuju Halte dengan jalan kaki. Menikmati suasana pagi pedesaan Kaliredja, Pagung, dan Bandjareja. Sampai di Bandjareja sekitar Halte, penjual nasi, jajanan nogo sari dan grendul, warung kopi, penjual serabi dan ketan, berjajar di sekitar Halte.

Sampai di Halte, Melati dan Magdalena bergegas naik kereta. Orang-orang ada yang membawa kambing, ayam, dan lain-lain. Menambah suasana ramai gerbong kereta. Juga ada penjual surat kabar dan penginjil yang berada di kereta untuk menyempaikan kertas yang berisi siraman rohani.

Kereta dari Bandjareja, menuju arah Ponorogo, setalah itu setelah beberapa menit dalam perjalanan yang melalui pedesaan, Kali Sala, pasar, dan kawasan hutan, kereta yang ditumpangi Melati dan Magdalena tiba di Lasem, Rembang.

Disinilah perjumpaan Magdalena dengan kiai muda, Haji Ahmad Santowijoyo, seorang haji dan juga kiai muda yang pernah memimpin protes nelayan kepada pemerintah kolonialis Hindia Belanda di Rembang dan juga masih istiqomah melakukan pengorganisiran nelayan. Karena banyak kebijakan Kolonial Hindia Belanda, yang merugikan nelayan-nelayan di Rembang.~