Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Pertemuan Dikala Magrib Berkumandang Hingga Padang Mahsyar

 


Beberapa pohon beranggapan, pemotongannya harus dijadwalkan. Kalau langsung ditebang tanpa perjanjian, akan melahirkan beberapa hal salah satu di antaranya kenangan yang sulit terlupakan.


Desember atau gede-gedene sumber. Awal Ma’un bertemu (lagi) dengan Siti Noer Lidia setelah sekian purnama tidak bersua. Ma’un merupakan pemuda yang lahir, tumbuh, dan berkembang di Kota Bodjonegara. Ma’un merupakan anak pribumi yang bisa mengenyam pendidikan di Kota Bodjanegara. Karena Ma’un merupakan anak salah seorang pegawai jawatan dan petinggi partai di Bodjanegara.


Ma’un tumbuh dan berkembang dalam kesunyian. Menghabiskan waktu dengan buku-buku dan menulis. Saban hari, Ma’un memaknai hari sebagai hari kerja, kecuali hari Minggu. Hari Minggu pagi, Ma’un sering bersepeda mengitari desa. Selain itu, juga mengayuh sepeda di sekitar bantaran sungai Bengawan Solo, terminal Rajekwesi di tepian kota yang dekat dengan Bengawan Solo, bermain bola di gisik bengawan, dan lain sebagainya.


Khazanah cerita sosial dan budaya, didapatkan Ma’un dari bapaknya. Ada banyak kesamaan antara Ma’un dengan bapaknya, salah satu di antaranya berkacamata. Ma’un gemar membaca, membuat ia beberapa kali meraih juara kelas. Dan sering menjadi delegasi Bodjanegara di beberapa acara.


Namun, kemoncerannya dalam studi, berbanding terbalik dengan kisah asmaranya. Pertama, Ma’un jatuh cinta dengan Riski Rosmalia, kedua Nisa Pandjaitan, ketiga Christine Karina Prawiranegara, dan yang ke-empat dan paling berkesan bersama Siti Noer Lidia yang biasanya dipanggil Lida.


Ma’un juga gemar berkelana karena ia aktif di beberapa organisasi kerakyatan. Menjadi penanggung jawab di beberapa acara besar yang pernah di helat di Kota Bodjanegara. Dan paling berkesan ketika menghadiri pidato kebudayaan petinggi partai bernama Noto. Sial, setelah pidato itu, banyak berita yang gonjang-ganjing.


Malam itu, Bodjanegara diselimuti gerimis. Ma’un mengajak Lida untuk menghadiri pidato kebudayaan.


“Lida, berkenan ikut saya menghadiri acara pidato kebudayaan di Gedung Bioskop Pringgodigdo?”


“Ya, ayo…”


Hujan semakin deras. Derasnya hujan tidak menghalangi laju sepeda Ma’un dan Lida. Sebelumnya, mereka sudah berada dalam satu tempat. Di agenda bedah film. Ma’un dan Lida terhimpun dalam satu organisasi kebudayaan dan keagamaan yang banyak pengikutnya.


Mereka senantiasa bersama, kalimat witing tresna jalaran seka kulina terbukti. Ma’un sebagai propagandis, penulis, dan orator yang ulung. Sedangkan Lida, tidak banyak berbicara, namun Lida merupakan sosok perempuan yang hangat dalam surat menyurat. Ketika Ma’un kesulitan menerjemahkan manuskrip berbahasa Arab, dia selalu meminta Lida untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip tersebebut.


Lida, tumbuh dan berkembang di lingkungan islam tradisional, sedangkan Ma’un tumbuh dan berkembang di lingkungan islam modern. Dalam mazhab kebudayaan, Ma’un lebih kepada realisme sosial dan Lida lebih ke seni yang universal.   


Mereka tidak pernah mempersoalkan perbedaan. Bahkan ketika Ma’un terkadang tidak salat, Lida juga tidak marah.


Malam ketika menyaksikan pidato kebudayaan. Ma’un dan Lida menyaksikan dengan seksama pidato kebudayaan di gedung bioskop Pringgodigdo. Tepukan tangan menambah ramai suasana gedung. Tembok di gedung menjadi saksi bisu pidato kebudayaan dan keberadaan dua insan, Ma’un dan Lida.


Setelah itu, Ma’un dan Lida tidak langsung menuju pintu rumah masing-masing. Melainkan berkunjung ke toku buku di Kepatihan, melintasi stasiun kereta api Bodjanegara yang berada di Sukareja, melihat rawa-rawa di Ngrawa, dan menyaksikan pertunjukan ludruk Bintang Merah di Ledok.


Ma’un mengenalkan Lida kepada ketua Bintang Merah, Bung Matekram.


“Bung, ini Lida, kawanku dari Kalireja.”


“Oh, ya. Saya Matekram. Salam kenal.”


Lida dan Matekram berjabat tangan. Dari arah lain, muncul Hendrick. Bung Hendrick merupakan keturunan Belanda yang tinggal di Bodjanegara. Tepatnya di Jetak, yang berada di wilayah Bodjanegara kota. Beberapa anggota keluarganya dimakamkan di Bong Landa yang berada di wilayah Ledok.


“Ma’un, itukah gadis yang akan menemanimu sepanjang hayat?” Tanya Bung Hendrick.


Senyum mengembang di wajah Ma’un, “Semoga”.


Disusul dengan merahnya wajah Lida.


“Lida, apakah kamu sudah pernah melihat ludruk?” Tanya Ma’un.


“Belum. Baru kali ini”.


“Oh, baguslah, mari kita menyaksikan bersama”.


Acara pertunjukan ludruk malam itu bertajuk, “Kanjeng Nabi Revolusioner”.


“Ma’un, judulnya menarik ya?”


“Ya, itu karya Bung Matekram dan kawan-kawan.”


“Saya sebelumnya belum pernah membaca tentang sisi revolusioner Kanjeng Nabi. Karena kalau saya bawa buku selain kitab, apalagi buku yang merah-merah, langsung saja, pengurus lembaga di tempatku belajar, merobek-robek, membakar, dan mengatakan jangan pernah membaca buku-buku yang merah”. Lida tersenyum.


“Ahahaha….setiap lembaga memiliki aturan Lida, tetapi sekali-kali kamu juga harus bertanya kepada orang-orang yang suka membakar buku, bukankah terkandung ilmu di dalamnya?”


“Iya…iya juga iya, sungguh ironi, hmmmm”.


Pertunjukan ludruk malam hingga menjelang subuh itu, berlangsung dengan meriah. Ada penjual tahu petis, balon, kokek, perahu otok-otok, dan lain sebagainya. Setalah acara ludruk usai, ditemukan berbagai jenis minuman, dari anggur, arak beras, ciu, arak Bali, arak Blora, toak, dan lain sebagainya. Juga ditemukan kulit kacang yang berserakan.


“Ma’un, antar saya pulang ke rumah, ya?”


“Siap, puan”.


“Antar saya, sampai di pertigaan dekat jembatan”.


“Oke”.


Azan subuh berkumandang. Sebelum berpisah dengan Lida, Ma’un memberikan sebuah buku, perangko bergambar Sungai Nil, nazam do’a asmaul husna, dan gantungan kunci yang ada tulisannya Union Soviet Socialist Republic (USSR).


“Lida, kalau kamu ingin menjadi muslimah yang lebih baik lagi, bacalah buku-buku yang pernah saya baca, tentang analisis kelas, perjuangan buruh, humanisme, islam dan sosialisme, dan kesejahteraan”.


“Baik, Ma’un. Terima kasih, saya sebenarnya kurang enak Ma’un, kamu selalu memberi saya buku-buku, tetapi saya belum pernah memberi apa-apa kepada Ma’un sang senior saya, ahahaha.”


“Aih, jangan bilang begitu puanku. Jangan panggil saya senior, panggil kawan saja atau sebut ‘Bung’. Di organisasi yang kita bidani, saya juga tidak melakukan apa-apa hanya sedikit bicara dan banyak tidurnya, ahahaha.”


“Bisa saja kau, Bung Ma’un”.


“Oh, ya. Di awal bulan kan, Lida hilang tahun, eh, ulang tahun. Semoga menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Dan jangan lupa, banyak membaca, ngopi sesekali, ngopilah yang berarti”.


Danke”.


“Aih….gaya benar kamu ini, sudah pakai bahasa Belanda, ahahaha”


“Iya, dong, kan kawannya Bung Ma’un”. Senyum manis menjadi pengindah pagi itu dan menjadi tanda menabung rindu (lagi).


Di negeri yang konon lumbung pangan dan energi plus orangnya ramah-ramah, terjadi sebuah peristiwa politik yang mencekam. Dimana hal tersebut membuat keluarga Ma’un diasingkan. Dipindah dari satu tempat ke tempat yang lain di daerah Tulangan, Pati, Harjamukti, Pulau Seribu, Sukamiskin, Pattani, Timor-Timur, Banda Neira, dan Pulau Buru.


Hal tersebut membuat Lida dan Ma’un berpisah secara fisik. Namun dalam sanubari, terdapat ikatan bak pendar cahaya yang tak akan pernah padam. Selama di pengasingan, Ma’un bertemu dengan pemikir-pemikir besar, yang namanya, dulu hanya bisa dibaca di buku-buku perpustakaan daerah Kota Bodjanegara.


Selama masa pengasingan, Ma’un lebih banyak menghabiskan waktu dengan bercerita, berdiskusi, membaca, dan menulis apa saja. Selama masa pengasingan, orang tua Ma’un menghadap Sang Pencipta. Ma’un hidup sebatang kara, dengan pena, kertas, dan terkadang secangkir kopi pelipur nestapa.


Pasca reformasi, Ma’un kembali ke Bodjanegara. Ma’un menjadi asing, dengan kota kelahirannya. Ladang jagung, lapangan tempat berlatih pencak silat, dan rawa-rawa di depan stasiun Bodjanegara (Sukareja), kini berubah menjadi gedung-gedung yang menantang cakrawala. Dan setiap desa, terdapat warung kopi yang ramai dikunjungi orang-orang lintas usia.


Ma’un bisa pulang ke Bodjanegara karena ada keringanan dari Negara. Dan Ma’un berjalan kaki, menuju tempat tinggalnya, di bagian pojok kota. Ma’un menjadi kaget ketika menyaksikan pemandangan yang berbeda. Dimana kediamannya dulu, sudah menjadi gedung yang tinggi, dan ketika melihat gedung itu, Ma’un meneteskan air mata. Tanah kelahirannya, menyerap air mata Ma’un seketika. Karena Ma’un mengingat sebuah peristiwa yang bukan hanya sekadar peristiwa. Dan sekarang, juga masih menjadi tanda tanya.


Ma’un melangkahkan kaki ke Bengawan Solo. Memandangi jembatan yang menghubungkan Sima dan Kalireja. Jembatan yang menjadi saksi bisu perpisahan Ma’un dengan gadis desa yang anggun ‘Lida’.


Ma’un mengeluarkan secarik kertas dari kantong celana. Mengambil pena di saku sebelah kiri. Dan menggurat aksara, “Lida, apa kabar kawanku? Semoga hidupmu, tidak nelangsa sepertiku. Namun, aku berusaha tegar, menghadapi kenyataan, dan senantiasa bersyukur atas apa yang telah digariskan. Karena, saya yakin dan percaya, ada ibrah/pelajaran yang bisa kita petik di setiap peristiwa. Aku hanya ingin, menyampaikan rinduku padamu, lewat secarik kertas ini, dan aliran Kali Sala atau kamu lebih suka menyebut Bengawan Solo. Aliran air sungai yang panjang di Pulau Jawa ini akan menjadi perantara rasa rinduku padamu. Masih ingatkah? Malam itu, kita di kota menerabas hujan bersama? Menyaksikan pidato kebudayaan di gedung bioskop Pringgodigdo yang sekarang mungkin sudah berubah namanya? Dan masihkan engkau menyimpan buku-buku, gantungan kunci, dan cinderamata lain yang pernah aku berikan padamu? Sermoga, kamu juga tidak larut dalam gelombang kebencian. Sekarang, aku hidup sebatang kara, beralaskan triplek, dan beratap langit. Semoga engkau senantiasa bahagia, Lida. Semoga, Tuhan memberkati saban pertemuan kita, entah pertemuan di Bojdanegara bagian kota, atau di tempat-tempat lainnya, dan tidak menutup kemungkinan, tidak ada pertemuan lagi di dunia, melainkan sebuah pertemuan di alam lainnya, yaitu Padang Mahsyar.”

 

 

 

 

(BJN/YAG/JAN/22/FIKSI)