Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bapak, Imam Musala dan Pendekar yang Bersahaja

 


Manusia yang tidak banyak bicara. Namun terkandung ibrah di setiap laku perbuatannya.

 

Maaf, bapak. Ketika masa purna jabatanmu (upacara), aku tidak hadir di sisimu. Karena pada waktu itu, aku sedang menghambat dan menjauhi datangnya mentari. Ingin dunia senantiasa berada di dini hari yang sunyi, gelap, namun terkandung pendar cahaya bagi orang-orang yang terbangun dari tidurnya.

 

Ketika tidak bisa hadir dalam upacara purna jabatan, saya kecewa, namun tidak perlu kecewa secara berlebih, bak laku bapak dalam kehidupan, pedih dan berat dalam menyangga kehidupan tidak perlu semua orang tahu, cukup disampaikan kepada angin malam atau orang-orang tersayang, seperti ibu.

 

Namun, lain sisi aku juga bahagia. Karena bapak tidak membangunkan saya dari tidur panjang, mungkin bapak tahu, ketika dini hari, suara tuts keyboard masih berbunyi hingga azan subuh mengambang di cakrawala Surga Pojok Kota.

 

Bapak, diusiamu yang semakin senja. Aku belum bisa memberikan apa-apa, hanya menyusun aksara, menikmati aksara, dan melakukan tafsir terhadap alam raya. Alangkah takjubnya, bapak tidak pernah melarang saya untuk menjadi apa. Menjadi apapun itu, yang terpenting jangan lupa menunaikan kewajiban salat wabilkhusus salat lima waktu.

 

Berbagai rentetan persitiwa telah berlalu. Dari yang menganggap akan sukses di Kota Pahlawan dan menuju Natherlands, namun aku mengambil jalan lain diluar harapan. Dalam kekecewaan terkandung ibrah/pelajaran yang luar biasa untuk mengarungi samudera kehidupan yang fana dan penuh tanda tanya ini.

 

Bapak, kawan yang setia dikala suka maupun duka. Senantiasa mendukung pilihan hidup, membelikan buku, mengantarkanku ke toko buku ketika masih duduk di bangku putih hijau, dan sebagai contoh berislam yang santai plus ora gumunan.

 

Meski sehari-hari menjadi imam musala di kampung, menjadi imam tarawih saban ramadhan, dan spesialis mahalul qiyam di beberapa acara kampung. Bapak merupakan orang yang biasa. Bergaul dengan siapa saja. Hobi main bola, bersepada, lari, dan lain sebagainya. Hal ihwal olahraga, aku dan bapak tidak sebanding. Sebanding dalam hal tidak banyak bicara, namun berbeda jauh dalam hal olahraga. Kalau saya, sedikit bicara, banyak tidurnya, wqwqwq. Kalau bapak, sedikit bicara, banyak aktivitasnya.

 

Selain itu, bapak merupakan seorang pendekar dari sebuah perguruan pencak silat yang berpusat di Madiun. Aku takjub, bapak tidak pernah bercerita yang muluk-muluk atau bahkan hingga sundul langit tentang pengalamannya berpencak silat. Tidak banyak bicara, namun kalau marah, saya takut bukan main. Episode kemarahan bapak, terekam dalam memori kecilku, waktu kecil dan hingga sekarang, saya agak ndableg. Kalau dulu, ketika tidak mau ngaji, malas belajar matematika di sebuah bimbingan belajar yang ada di kota, dan malas salat, langsung, sabuk menghujam tubuhku. Atau ciduk  alias gayung pernah melayang di kepalaku. Namun, dulu saya sangat benci peristiwa itu, namun sekarang, saya sadar, itu merupakan bentuk kasih sayang seorang bapak terhadap anaknya.

 

Ada saatnya saya bosan. Ketika masih kecil, saya bunuh kebosanan dengan menggambar dan mewarnai objek, menulis apa saja, dan bersepeda. Hingga pernah, pada suatu waktu, ada jadwal mengaji, saya penat dan bosan dengan aktivitas yang penuh saban hari, saya berangkat menggunakan sepeda, bukan ke tempat ngaji, melainkan ke beberapa objek yang menurut saya menarik, wqwqwq.

 

Saya mengarahkan sepeda ke Stadion LHS. Melepas kopiah, dan memasukkan ke dalam tas. Menikmati pemandangan alam di stadion, dan menyaksikan pemain sepak bola yang sedang latihan. Lalu-lalang penjual es, tahu, lumpia, dan pentol, membuat semakin hidup suasana stadion. Selain di stadion, saya mengayuh sepeda ke pasar halte yang sekarang sudah berubah rupa. Ada pohon beringin besar, di hari-hari tertentu, ada orang yang berjualan kembang.

 

Saya menuju di sebuah tempat yang berada di pojok pasar. Memarkir sepeda, dan duduk termenung di sekitar dataran hijau yang dibatasi oleh tanggul. Saya membayangkan, sedang berada di tempat lain, seperti di negeri dongeng. Menikmati kesendirian, menyaksikan awan yang berlalu secara perlahan, burung-burung yang terbang dengan riang, dan rumput-rumput yang bergoyang ketika dibelai angin. Setelah itu, saya mengayuh sepeda ke rumah, membuka tas, dan membuka kembali kitab yang dipelajari, dan setelah itu ke luar rumah, bermain bersama kawan-kawan. Membuka tas dan membuka kitab, hanya sebatas metafora sehabis ngangsu kaweruh di masjid. Padahal, ngangsu kaweruhnya tidak di masjid, melainkan di alam raya.

 

Waktu terus berlalu, bapak semakin bertambah usia. Periode demi periode telah terlampaui. Periode angon wedhus, menjadi bagian dari pertahanan sipil, diangkat menjadi aparatur sipil negara, rumor kepindahan ke daerah perbatasan, e.g.: Aceh dan Papua (bapak selalu siap apabila dipindah), periode bapak ditugaskan di bagian lapangan, di perkantoran, di bagian siaran, dan purna.

 

November, 2021. Merupakan waktu menjelang purna tugas. Sebenarnya, tulisan ini, dibuat untuk ulang tahun bapak yang entah keberapa (saya lupa). Dan untuk menyambut upacara purna jabatan bapak pada Desember 2021. Berhubung ada beberapa kegiatan di luar kota dan tentunya rasa malas, baru bisa ditulis pada awal tahun 2022.

 

Tetapi, tidak apalah. Semoga tidak mengurangi esensi dari tulisan ini. Selamat bertambah usia dan purna jabatan, el comandante! Selamat menikmati masa tua bersama bunda/ibu. Selamat, menyusun arsip kehidupan, dan terima kasih telah memberi contoh merawat memorabilia dalam wujud dokumen tua, merawat sepeda onthel, dan berdialektika, kerena tidak menutup kemungkinan akan ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal, yang selesai dalam parlemen keluarga, di meja makan, atau di ruang tengah. Terima kasih, telah memberi contoh berbagi peran bersama ibu (buruh masak lintas kota) dalam keluarga dengan sabar, menggurat karya di desa bersama Mas Yoga, dan semoga senantiasa menjadi manusia yang memanusiakan manusia.