Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Semoga Benar-Benar Hilang, Oh Mata Ikan

 


Beberapa bulan yang lalu, clavus alias mata ikan tumbuh di kakiku. Saya menerka, kalau kemunculannya mengandung sebab akibat. Dan kemarin malam, semoga operasi kecil-kecilan pada waktu burung gagak terdengar suaranya menjadi operasi untuk terakhir kalinya.  

 

 

 



Ketika mata ikan tumbuh di kaki. Selain rasanya sakit ketika digunakan untuk berjalan apalagi berlari, mata ikan telah membawaku untuk lebih dekat dengannya. Mulai tentang apa itu mata ikan? Mengapa mata ikan bisa muncul? Dan bagaimana cara mengobatinya?

 

Sedangkal pengetahuan saya, mata ikan tumbuh di kaki pada awal tahun sekitar Januari. Saya menerka, munculnya mata ikan bak pemberontakan. Hal itu terjadi karena kaki kurang mendapat perhatian. Maka tak salah, kalau kaki memberontak untuk lebih difahami dengan adanya mata ikan.

 

Beberapa tahun yang lalu, saya sering ndelamak ketika melakukan aktivitas di beberapa tempat. Entah itu di area berpaving, bebatuan, dan tanah. Dari kecil, sudah terbiasa melakukan aktivitas tanpa menggunakan alas kaki alias ndelamak.

 

Berbagai jenis medan telah dirasakan oleh kaki. Dan menurut pengetahuan plus pengakuan saya, kaki lebih sering beraktivitas ketika melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi yang mengejar peringkat world class university. Dari indekos, saya jalan kaki. Menikmati semilir angin di Karang Menjangan, melewati jembatan, dan meneruskan langkah kaki menuju Gubeng.

 

Bolak-balik dari kos ke kampus membuat kentol mrongkol. Selain itu, telapak kaki juga kasar. Saya tak ambil pusing, hal-hal seperti itu. Sudah diberi kenikmatan untuk berjalan saja, merupakan suatu hal yang amat sangat luar biasa. Sepatu hitam bercorak hijau, menjadi saksi bisu langkah kaki menghitamkan aspal Kota Pahlawan waktu itu.  

 

Lepas kuliah, mengikuti majlis taklim di aula bawah masjid. Melipat jarak, dari kampus A ke C dengan menggunakan bus kampus. Malamnya melakukan kegiatan campuran antara olah raga dan seni. Sering, mata saya menjadi saksi sunyinya kampus. Aliran danau kampus yang tenang. Lampu rektorat yang bersinar, dan logo rumah sakit yang bisa dilihat dari kejauhan.  

 

Aktivitas seperti itu membuat kentol mrongkol. Selain itu juga, berkelana dari satu kota ke kota lainnya selain rasa senang dan bahagia menyapa, terkadang membuat kaki gringgingen. Dan kemunculan mata ikan, menurut pemikiran saya ialah setelah berkelana di Kota Hujan.

 

Lepas meninggalkan jejak di Kota Hujan, kaki terasa sakit. Awalnya tak ada benjolan, namun ketika digunakan untuk berjalan agak sengkring-sengkring. Saya bertanya pada Mbah Google, kira-kira ada apa dengan kaki saya ini. Selain itu, juga konsultasi dengan bapak, ibu, mas, dan nenek.

 

Ketika berkonsultasi dengan nenek, waktu itu berada di depan rumah. Duduk-duduk di kursi. Kemudian nenek memberi tahu kalau rasa kurang nyaman yang ada di kakiku, ialah bubul. Katanya, kakek dulu sering terkena itu. Dan diobati dengan mengkudu yang dibakar.

 

Selang beberapa waktu, saya tak menghiraukan rasa sakit yang ada di kaki. Dari kemunculan film Preman Pensiun 4 ketika Ramadhan 1441 H waktu sahur hingga film yang diperankan grup band Wali hingga sekarang masih tayang, membuatku untuk lebih perhatian pada kaki. Pengobatan selama kurang lebih satu bulan, dengan menggunakan pengobatan alternatif dengan cara menempelkan kaki pada mengkudu yang dibakar.

 

Setelah beberapa hari menerapkan hal itu, benjolan di kaki agak besar. Dan level rasa sakit bertambah. Selain mengandung rasa sakit, mata ikan juga sebagai memorabilia Ramadhan Pandemi. Selain dengan mengkudu, juga mengobati dengan obat cair yang dijual di beberapa apotek.

 

Mata ikan yang muncul di kaki selama berbulan-bulan, bebarengan dengan pendemi. Menambah kekhusyuan dalam rangka menulis. Dan benar-benar mengurangi aktivitas luar rumah. Selama masa-masa pengobatan, saya juga mencari literatur tentang clavus alias mata ikan.

 

Perpaduan pengobatan kimia dan alami belum mampu melumpuhkan akar mata ikan. Kemudian saya mencoba sebuah plester yang  pada kemasannya ada aksara China. Beberapa minggu menggunakan itu, ada hasilnya. Cara kerja plester, agak brutal dan radikal. Harus benar-benar ditempatkan sesuai dengan tempatnya. Dimana mata ikan ada, disitu plester berada.

 

Selain itu juga, saya mencoba untuk merendam kaki di air yang tidak terlalu panas dicampur dengan garam, kemudian digosok dengan batu kali. Perpaduan berbagai macam pengobatan, telah kulakukan. Nampaknya benjolan pada kaki semakin membesar. Kemudian ada opsi untuk naik ke meja operasi.

 

Ketika mendengar meja operasi. Sekan-akan genteng rumah mau runtuh dan burng-burung disangkar berkelakar dengan liar. Terbayang, bagaimana saya ketika kecil merasakan dingin dan sunyinya ruang operasi ditemani dengan dokter dan perawat mengenakan pakaian hijau. Dengan kesembronoan ala Don Quixote plus keberanian ala Monkey D. Luffy, saya berfikir, buat apa kalau pernah ngansu kaweruh ihwal biologi namun tak menerapkan ilmunya.

 

Nah, dari situ terbayang tentang ilmu yang mempelajari kehidupan ‘biologi’ khusunya tentang jaringan kulit pada manusia, lebih tepatnya lagi jaringan kulit di kaki. Menyiapkan peralatan seadanya, fitur senter yang ada di gawai sekan-akan menjelma sebagai lampu ruang operasi berbentuk lingkaran.

 

Gunting yang biasanya saya gunakan untuk menggunting berbagai jenis abiotik seperti kertas, saya gunakan untuk menggunting kapas dan kasa. Alat pemotong kuku, yang biasanya saya gunakan sebagai mana mestinya, saya bersihkan dan menjadi alat pembedah kulit. Alkohol, plester, meja, kursi, buku-buku, foto, dan cangkir yang tak berisi kopi menjadi saksi bisu adegan operasi kecil-kecilan.

 

Setelah beberapa menit, operasi sedikit membuahkan hasil. Mengangkat sel kulit mati. Namun akar dari mata ikan juga belum terlihat. Kemudian saya melakukan berbagai macam pengobatan lagi. Dalam fikiranku, apabila nanti naik ke meja operasi selain mengeluarkan biaya, plus rasa agak takut menuju ruang operasi menjadi keinginan kuat untuk menghilangkan mata ikan secara indi.

 

Tak lupa juga mencari berbagai tips pengobatan dari Mbah Google. Kemudian saya juga mengaplikasikan sebuah formula dengan komposisi kapur sirih plus sabun colek. Namun juga belum bisa menembus kulit dan menghancurkan bubul sing kependem. Selama mata ikan belum hilang, membuat gaya berjalanku berubah. Ada yang mengatakan seperti pemain sepak bola yang cidera dan ada juga yang berkata seperti habis dikhitan.

 

Saya juga berharap dan memohon pada Tuhan, untuk segera menyembuhkan. Adanya mata ikan juga melatih kesabaran. Namun dengan adanya mata ikan, juga tak selalu membosankan. Aku juga mencoba untuk membaca berbagai artikel tentang mata ikan. Mencari gambar bagaimana wujud mata ikan. Dan tentunya solusi agar mata ikan hilang kemudian tak kambuh lagi.

 

Desir angin yang berhembus, hembusannya membuat berbagai tanggal terlalui sebagaimana mestinya. Hari-hari bersama mata ikan, ada yang abadi dalam bentuk tulisan. Ada juga foto pembedahan mata ikan secara indi, membuat wujud mata ikan kelihatan. Ada titik-titik hitamnya, selain itu juga ada semacam akarnya.

 

Dan ketika keinginan untuk menghilangkan mata ikan sudah bulat, pergilah ke pusat kesehatan masyarakat yang dekat dengan bekas rel Hindia Belanda. Selain nostalgia, juga untuk membuat surat rujukan bedah, namun karena kartu asuransi kesehatan tidak bisa digunakan (mati), alhamdulillah masih diberi obat pil dan salep.

 

Dari pusat kesehatan yang dekat dengan bekas rel Hindia Belanda itu, ada masukan untuk membeli sebuah salep. Dan dari satu apotek ke apotek yang lain, saya tidak menemukan salepnya. Kemudian dengan kesabaran yang tak seberapa plus kesantaian, saya mengobati kaki dengan resep dari pusat kesehatan yang ada di kecamatan, pil dengan cara ditelan dan salep untuk dioleskan pada objek.

 

Penggunaan salep. Pertama-tama, hasilnya tidak begitu kentara. Namun setelah beberapa minggu, kulit yang ditempati tumbuh mata ikan, menjadi lunak. Kemudian saya bersihkan dengan kuku, tentu sebelumnya cuci tangan terlebih dahulu dan mengolesi permukaan kulit dengan alkohol. Dan kemarin malam, dengan dibantu senter yang ada di gawai, jari tangan membombardir bagian kulit yang ada mata ikannya.

 

Setelah beberapa menit membombardir jaringan kulit, dengan posisi membungkuk, dan membuat kepala pusing plus lahir rasa kantuk. Lepas itu berharap, semoga mata ikan benar-benar hilang. Kulit yang kasar tergerus oleh kuku yang panjang. Alhamdulillah, dengan adanya mata ikan, lahirlah tulisan ini. Oh mata ikan, semoga engkau benar-benar hilang. Dan proses berkelana bisa kembali dilakukan dengan riang.  

 

 


Ditulis ketika Sang Surya merangsak masuk melalui jendela yang ada kacanya