Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendengarkan Testamen Munir, Air Mata Keluar dengan Sendirinya

 


Ketika mendengarkan testamen Munir yang dibacakan oleh beberapa orang, membuat air mata keluar dengan sendirinya. Satu sisi rasa bangga mengalir dalam jiwa karena Indonesia memiliki pejuang yang sederhana dan berani, lain sisi bak nasihat untuk diri karena belum bisa secara maksimal meneruskan perjuangan Cak Munir ihwal penegakan hukum dan HAM.

 

 

 

 

 



Desir angin bulan ke-sembilan terasa. Daun jati meranggas seperti biasa. Gisik pantai terlihat dan digunakan bermain oleh berbagai kalangan. Layang-layang menghias cakrawala. Panasnya cuaca, juga selaras dengan panasnya hati ihwal kasus Cak Munir yang tak kunjung menemukan titik terang.

 

Ketika September tiba saya mencoba untuk mencari sebuah foto yang menurut sepengakuan saya, itu merupakan foto yang sangat istimewa. Foto itu saya ambil ketika menginjakkan kaki di Jakarta. Di sebuah gedung bertingkat namun bukan pencakar langit yang berwarna putih. Di bagian depan terdapat gambar Munir plus kalimat yang pernah ia ucapkan (quote).

 

Foto yang istimewa itu berada di bagian dalam gedung. Sebuah foto yang di dalamnya ada Cak Munir dan Gus Dur. Dalam hati saya bergumam, “wah….ini foto yang sangat menarik”. Dua pejuang kemanusiaan yang sederhana plus bersahaja dari Indonesia.

 

Tangan langsung membuka gawai dan memilih fitur kamera. Selang beberapa menit, foto itu berhasil saya abadikan di gawai. Data rincian pada foto menyebutkan waktu pengambilan gambar yakni Agustus 2019. Ketika September 2020, saya ingin melihatnya kembali.

 

Membutuhkan waktu yang lama plus kesabaran ketika mencari foto itu di laptop. Karena data di gawai telah saya pindahkan. Betapa senang dan bahagia, ketika menemukan foto itu. Tak pikir panjang, kemudian saya edit dan cetak buat memorabilia.

 

Ketika tanggal 7 September, teringat bahwa hari itu merupakan duka cita bagi Indonesia. Saya dan kawan-kawan berencana untuk membuat manaqib untuk Cak Munir Said Thalib.

 

Pada suatu malam ketika dini hari menyapa. Melihat beberapa video, salah satu di antaranya testamen dari Museum Omah HAM Munir yang dibacakan oleh Manik. Dia membacakan tulisan dari Pak Faisal yang menggambarkan pertemuan yang unik antara Pak Faisal dengan Cak Munir.

 

Saya bersandar di tembok yang berada di kamar kuning. Di bawah rembulan bersama desir angin dini hari, saya mendengarkan dengan seksama testamen itu. Selang beberapa menit, air mata keluar dengan sendirinya. Jiwa dan raga dibuat bergetar dengan testamen itu.

 

Dan untuk penutup tulisan ini, saya akan mencantumkan kalimat dari Gus Dur, “Terus terang, diantara para pejuang HAM, dia paling terkemuka. Dia tidak tergoda kemewahan hidup. Teman-temannya yang lain sudah pada mewah, dia tidak. Yang dia lakukan hanya menolong orang”.