Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumahku Museumku

 



Ada pepatah Arab yang masyhur yaitu rumahku surgaku. Namun bagiku, rumahku bukan hanya sekadar surga melainkan museum juga.

 

 

 


 


Barusan saya menulis tentang sebuah sungai yang mampu menyihirku. Apa lagai kalau bukan Sungai Bengawan Solo. Ketika menulis tentang itu, beberapa memorabilia muncul dengan sendirinya. Kemudian, untuk menyegarkan otak, saya membuat kopi yang resepnya turun temurun dari ibu. Namun saya melakukan improvisasi di dalamnya.

 

Ndilalah ketika akan buat kopi di pagi hari, bubuk kopi habis. Waduh, kemudian saya sarapan terlebih dahulu. Terngiang dalam ingatan, “Oh..ya, semoga bubuk kopi di rumah nenek tersedia.” Kemudian saya menyalakan kompor dan bilang ke nenek kalau ingin minta bubuk kopi. Nenek dengan senang hati mengizinkan. Saya mengambil seperlunya. Tak lupa mengucapkan matur suwun ke nenek.

 

Dari kejauhan, ceret sudah mengeluarkan asap bak kereta api tanpa berbunyi “tut…tut…tut.” Tentu asapnya berbeda dengan asap kereta api yang lebih besar, wkwk. Saya tambahkan gula, dan menuangkan air panas ke racikan yang sudah menunggu di gelas. Memutar sendok sembari menyaksikan sinar mentari dari balik jendela tanpa kaca.

 

Dalam perjalanan menuju ruang permenungan. Saya melihat sebuah jadwal pelajaran ketika ngansu kaweruh di madrasah aliyah yang berada di dekat sawah. Saya letakkan terlebih dahulu, kopi di meja. Saya memandangi lagi, jadwal pelajaran yang tertempel di lemari, susunan pengurus kelas, dan foto wisuda purna siswa.

 

Sekan-akan mereka memancingku untuk menulis tentang dirinya. Kertas-kertas yang saya rasa berharga dan harus dirawat. Jauh sebelum itu, aku juga menyimpan amunisi andalan ketika pergi ke madrasah. Sebuah pena drawing pen 0.2 yang saya kemas dalam sebuah wadah plastik bak cenderamata pernikahan. Juga saya bubuhkan tanggal benda itu reinkarnasi di dunia. Sekarang masih saya simpan, sesekali ketika rindu masa-masa belajar di madrasah, aku melihatnya.

 

Bagiku itu amat sangat berharga. Saban benda memiliki cerita sendiri. Selain pena, ada juga buku-buku tulis. Lemari kayu, menyimpan buku ketika duduk di kelas ibtida’. Generasi putih hijau, begitu aku menyebutnya. Karena seragam sekolah anak Madrasah Ibtidaiyah (MI) ialah putih hijau, bukan putih merah.

 

Rak kayu yang berada di rumah pada bulan Juni bertepatan Ramdahan, sebagai tempat berbagai jenis buku. Ada ensiklopedia biologi, bank soal, buku filsafat, sejarah, matematika, fisika, dan lain sebagainya. Rak aluminium yang berada di ruang tengah, juga menyimpan berjuta kenangan. Seperti berbagai piagam dan sertifikat penghargaan, dokumen keluarga, dan benda-benda seperti kartu kepanitiaan dan juga kartu peserta berbagai jenis halaqoh.

 

Juga ada beberapa buku kakak yang tersimpan. Buku resep makanan ibu, dan beberapa buku bapak seperti buku yang berisi seperangkat bacaan tahlil. Dari buku-buku itu, saya bisa merasakan dan tergambar dalam otak kalimat dan nuansa menggambarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan benda seperti buku.

 

Selain buku juga ada lampu belajar. Saya tak ingat, pertama kali lampu belajar dengan kombinasi warna hijau dan putih itu menemaniku menjelajah cakrawala ilmu dan pengetahuan. Bapak yang membelikan lampu yang bagian tengahnya elastis. Bisa kita atur pencahayaaan, sesuai dengan yang kita mau.

 

Diantara benda-benda yang talah kusebutkan di atas, ada yang paling berkesan dan bisa bercerita sendiri yakni foto. Akhir-akhir ini, aku mencoba mencari foto-foto zaman dahulu yang kiranya amat sangat penting. Diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mencari foto dan mengeditnya tak sesulit beberapa tahun yang lalu.

 

Ketika berbicara tentang foto. Ada sebuah foto zaman dahulu yang berhasil saya abadikan yakni foto khitan. Namun tidak semua foto menampakkan dirinya. Kodak (film) telah berdiam diri dalam tempo yang lama. Ketika beberapa tahun yang lalu, aku berkelana dan menginjakkan kaki di kota kelahiran aku berupaya mencuci film. Berputar-putar dari satu studio foto ke studio yang lain sudah tak ada yang melayani cuci film.

 

Sebelum bertolak ke Negeri Gajah Putih, ketika berada di Kota Pahlawan aku mencari tahu mengenai tempat foto yang masih melayani cuci film. Alhamdulillah, masih ada yang bisa. Saya serahkan filmnya, dan kemudian aku tinggal dalam waktu yang lama.

 

Kembali ke Tanah Air, saya berkunjung ke studio foto itu. Pemikiran saya beranggapan bahwa semua foto ketika walimatul khitan bisa tampil semua di compact disk. Dan ternyata, hanya beberapa foto yang terselamatkan. Sebuah foto yang menceritakan mengenai pemandangan depan rumah sebelum saya dikhitan. Fotonya saya gunakan sebagai header tulisan ini. Lihatlah!