Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ihwal Menyeruput Kopi dalam Tinjauan Historis Menurut Saya

 



Menyeruput kopi bagi sebagian orang merupakan suatu kewajiban. Proses yang amat sangat menyenangankan tersebut memiliki sejarah. Berikut kisahku menyeruput kopi dari masa ke masa.

 

 

 



Menyeruput kopi atau ngopi. Memiliki beragam kisah di baliknya. Orang yang sekarang sering kamu ajak ngopi, belum tentu orang itu menjadi tandem ngopimu beberapa hari ke depan. Bisa jadi, hari ini merupakan hari terakhir kamu bertemu dengannya menikmati kopi bersama. Maka dari itu, jadikanlah ngopi bukan hanya sekadar ngopa bin ngopi, dari rumah niatkan sitalurahim, ngangsu kaweruh, dan lain sebagainya. wasek.

 

Jadikanlah pertemuanmu dengan orang yang engkau ajak menikmati secangkir ataupun beberapa cangkir kopi dalam satu meja sebagai pertemuan yang berkesan, karena beberapa hari ke depan belum tentu berkesan, dan bisa jadi keluar kalimat,  “maaf, kopi kita sudah tak sehangat dulu, and good bye, eh~”

 

Seingat dan sepengakuan saya, ihwal menyeruput kopi dalam tinjauan partikelir, tidak bisa lepas dari pengaruh ibu dan tentu juga ada takdir Tuhan di dalamnya. Loh, kok gak bapak? Karena bapak tidak ngopi. Ngopi disini ialah menyeruput kopi hitam berbegai genre. Yang penting kopi hitam. Bukan kopi-kopian, apalagi es teh.

 

Ketika aku berada di usia anak-anak, pagi-pagi bukan terus mandi, melainkan ngopi. Anomali bukan? wqwwq. Ibu membangunkanku, saya yakin dan percaya dalam hal membangunkanku ia beberapa kali melumuriku dengan do’a. Kemudian membopongku ke sebuah meja yang usianya saya taksir lebih tua dariku.

 

Meja itu merupakan meja milik nenek. Posisi mata masih kriyip-kriyip dan di samping saya sudah ada kopi yang baunya merangsak masuk melalui hidung. Ibu menuangkan kopi ke lepek. Dengan penuh kasih sayang, ia mengangkat lepek kemudian meminumkan itu kepadaku.

 

Kopi buatan nenek, dalam hal minum dibantu ibu, dan aku merasakan reaksi yang cespleng plus pyar-pyar yang membuat mata melek. Waktu kecil, aku mengawali hari dengan kegitaian seperti itu. Kemudian menunaikan salat subuh, lanjut membaca buku, menulis, hingga Sang Surya menampakkan sinarnya.

 

Usia remaja hingga sekarang ihwal menyeruput kopi saya maknai sebagai pembuka. Memulai aktivitas seperti membaca, menulis, dan diskusi. Ketika duduk di bangku tsanawiyah, saya mencoba memberanikan diri untuk membuat kopi sendiri. Sebelum itu, hanya ngopi di pagi hari di rumah nenek. Atau meminum kopi yang dibuat ibu, baik dengan sepengetahuannya maupun sebaliknya. Ketika menyeruput kopi di rumah nenek, ditemani dengan tungku tua, yang asapnya mengepul di udara. Memorabilia itu, hanya sekadar cerita di era revolusi industri 4.0 ini.

 

Ketika berada di bangku tsanawiyah, membuat kopi dengan gelas kecil. Dengan takaran warisan ibu. Satu hari satu kopi namun belum bisa istiqomah. Hal itu tak jauh berbeda ketika duduk di bangku aliyah. Selepas aliyah, ngopi inilah yang bukan hanya sekadar ngopi.

 

Dalam menyeruput kopi aku sembari belajar dan mecoba memakanai proses hidup. Ketika berdialektika dengan kawan, memperoleh ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan wawasan baru. Dalam proses ngopi, aku menemui berbagai jenis kepala. Saban kepala memiliki suatu hal yang diistiqomahkan, dan hal-hal kecil yang diistiqomahkan berubah menjadi karomah.

 

Menikmati berbagai jenis kopi. Namun lebih banyak kopi sachet, wqwqwq. Apa pun jenis kopinya, bagiku tetap memberi rasa yang melegakan. Yang penting kopi, bukan es teh. Saban daerah juga memiliki karaktersitik dalam menyeruput kopi. Ada tumplek-style atau dibalik, dan ada juga yang tanpa lepek.

 

Seingat saya, ketika berkelana dan menginjakkan kaki di sekitar terminal maupun tempat-tempat yang lain di Ibu Kota Jawa Barat maupun Ibu Kota RI misalnya, ada penjual kopi keliling. Kopi yang kita beli dari penjual keliling, biasanya dituangkan dalam gelas plastik. Ketika kita membeli, bukankah kita juga ikut membantunya? Walau hal itu tak seberapa membantu mereka, wabilkhusus dalam bidang ekonomi.

 

Sekarang, ihwal menyeruput kopi bisa mencapai maqom istiqomah. Dalam ngopi, sudah mencapai S3. S1 (gelas kecil), ngopi di pagi hari. S2 (gelas sedang), ngopi di siang hari hingga sore. Dan S3 (gelas besar), ngopi di dini hari hingga Sang Surya menyapa. Terimkasih petani kopi, dari berbagai penjuru bumi, khususnya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Semoga sehat selalu dan berdaya.