Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menilik Bengawan Solo secara Tidak Sengaja

 













Semacam rindu yang tak biasa dan terobati secara tak sengaja. Sebuah kerinduan kepada bentang alam yang telah menorehkan ibrah dan berjuta pengalaman.

 

 

 



Siang yang panas dalam balutan desir angin bulan kemerdekaan, di balik kaca jendela saya bercerita. Dalam waktu yang agak lama. Bangkit dari tempat duduk menuju meja makan.

 

Ibu memintaku untuk mengantarkan ke rumah kawannya. Tempatnya tak jauh, bisa dikatakan tetangga desa, dekat. Saya memacu kendaraan dengan hati-hati. Sampai di lokasi, saya dan ibu masuk ke sebuah rumah. Sudah ada yang menunggu. Kawan ibu, tidak di rumah (sedang silaturahim di rumah tetangga), maka dari itu ibu harus menunggu terlebih dahulu.

 

Saya merasakan desir angin yang berhembus. Agak panas. Kemudian saya menuju ke sebuah tempat yang rendah apabila dibanding dengan dataran di sekitarnya. Perlahan saya turun dan menyaksikan panorama alam dan buatan yang ada di sekitar. Pohon jati yang menjulang tinggi dan lalu-lalang ayam menjadi pengindah suasana siang itu.

 

Sampah yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo mengucapkan sugeng rawuh kepadaku dan ada beberapa orang yang melakukan aktivitas di Bengawan. Juga ada perahu yang melintas dengan kepulan asap menyapa cakrawala. Burung-burung yang berkaca di aliran air. Aktivitas penambangan ekstraktif juga masih ada. Aku menyaksikan pemandangan dari kejauhan. Sinar mentari yang memantulkan cahaya dari cermin abadi begitu kentara.

 

Membuat aliran air Sungai Bengawan Solo seakan-akan menyala. Aku mengucapkan terimakasih pada Tuhan, karena diperkenankan nostalgia atau menginjakkan kaki di bantaran Sungai Bengawan Solo. Ada bantaran yang gersang ada juga yang ditumbuhi tetumbuhan seperti pohon pisang dan jagung.

 

Pandangan mataku, sekan-akan menyulap Sungai Bengawan Solo menjadi hitam putih. Dimana biasanya aku melihat foto-foto Sungai Bengawan Solo tempo dulu. Terbayang bagaimana posisi padvinders Tionghoa bersandar di dekat bantaran sungai.

 

Dalam imajinasiku, terbayang kapal feri yang melintasi Sungai Bengawan Solo. Imajinasi yang tak sembarang imajinasi. Imajinasi yang lahir dari teori sejarah kritis yang diungkapkan oleh sejarawan Jerman, Leopold Von Ranke.

 

Ya, aku pernah menyaksikan foto peta daerah kelahirkanku era kolonial. Salah satu di antaranya, Sungai Bengawan Solo yang merupakan pelabuhan dan jalur feri. Siang itu, seakan-akan tubuhku terlempar di masa lampau.

 

Selain itu juga, tampak sebuah pulau kecil dimana kawan-kawanku dulu menyebutnya pulau batu. Sebuah daratan yang muncul di tengah-tengah aliran sungai. Saya ingat, bagaimana saya dan kawan-kawan bergandengan tangan menuju daerah sebrang, Tuban.

 

Hal tersebut juga mengingatkanku pada lelucon seorang guru ketika duduk di bangku putih biru. Kalau tak salah, Bu Nur Aini (guru IPS Madrasah Tsanawiyah) bergurau dengan Zaka dan Via. Mengingat keduanya berasal dari daerah yang sama yakni Bumi Wali (Tuban).

 

Bu Nur Aini yang merupakan guru IPS, dalam hal gurauannya amat sangat geografis. Dimuali dari pertanyaan daerah asal. Aku ingat, ketika Madsarasah Tsanawiyah nomor satu di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini, dalam urutan daftar hadir aku berada di nomor dua akhir. Di atas ku ada Via Nur dan di bawahku ada Zaka. Nama Zaka amat sangat misterius, karena seyoigianya di depan namnya ada kata Muhammad-nya (disingkat M.) jadi M. Zakaria.

 

“Via, dari mana?” tanya Bu Nur Aini.

 

“Dari Tuban, Bu.” Jawab Via dengan suara pelan.

 

“Kemudian, Yogi. Dari mana Yog?” Dengan nada yang halus Bu Nur Aini bertanya.

 

Salah satu di antara beberapa kebaikan Bu Nur Aini ialah bagaimana ia menjelaskan materi dengan sabar, ya amat sangat sabar. Aku tidak pernah menjumpai Bu Nur Aini marah. Dan teringat, ketika ujian IPS, badanku panas. Bu Nur Aini mengizinkanku untuk istirahat di UKS. Aku tidak mau tahu, apa pun hasil ujiannya, harus aku selesaikan sekarang itu juga. Sedikit memorabiliaku terhadap Bu Nur. 

 

“Kemudian, Zakria. Dari mana Zak?”

 

“Dari Tuban, Bu.”

 

Kemudian, ungkapan geografis muncul dari mulut Bu Nur Aini, “Sama seperti Via berarti Zak.” Kelas yang sepi berubah menjadi riuh dan ramai. Biasalah, kawan-kawanku dulu ungkapan, “cieeee” menjadi penghangat suasana.

 

Bu Nur Aini kemudian memperjelas ungkapan sebelumnya, “Wah….Zaka dan Via ini rumahnya dekat, berangkat sekolah bersama menggunkan perahu. Berlayar dari Tuban menuju bandar atau nambangan yang berada di Kota Bojonegoro. Dan ketika surat-menyurat, tinggal masukan sesobek kertas kemudian dimasukkan dalam botol untuk dihanyutkan bersama aliran air Sungai Bengawan Solo.”

 

“Hahahaha”, satu kelas amat sangat mendukung ungkapan Bu Nur Aini.

 

Seingat dan sepengakuan saya begitulah peristiwa yang mengingatkanku tentang Bengawan Solo. Kemudian aku bergegas naik untuk menemui ibu karena saya rasa cukup nostalgia di hari itu. Tetap lestari, Bengawan Soloku walau beberapa pihak telah memperkosamu, namamu abadi dalam sajak-sajakku. Mohon maaf, aku belum bisa menjagamu dalam aksi nyata bersama anak-anak yang pernah engkau bahagiakan. Suatu hari nanti, sebelum aku melihat Sungai Nil, aliran air di kanal Negeri Kincir Anigin, aku akan membelamu, bahkan taruhannya nyawa. Karena saya yakin dan percaya, hidup dan mati hanya ada di tangan Tuhan Yang Maha Esa juga pengejawantahan hablu minal alam.